Oleh : Wahyu Catur Adinugroho, S. hut
Hutan rawa merupakan salah satu sumber keanekaragaman hayati di Indonesia. Diperkirakan terdapat sekitar 4.000 jenis pohon yang berpotensi sebagai penghasil kayu gergajian dan pertukangan baik di hutan rawa maupun hutan lainnya. Dari jumlah tersebut baru sekitar 400 jenis diantaranya yang sudah dikenal secara ekonomi, termasuk sekitar 260 jenis yang sudah dikategorikan sebagai penghasil kayu-kayu perdagangan (Soerianegara & Lemmens, 1993). Akan tetapi banyak jenis pohon yang dahulu kondisinya melimpah dan bernilai ekonomis saat ini ulit untuk ditemukan, termasuk didalamnya adalah Gonystilus bancanus (Miq) Kurz.
Gonystilus bancanus (Miq) Kurz. merupakan salah satu jenis pohon penghasil kayu ramin yang paling diminati untuk diperdagangkan dari 10 jenis yang ada di Indonesia. Jenis ini termasuk famili Thymelaeaceae. Di Kalimantan disebut sebagai Gaharu buaya, Medang Keladi , Gaharu, Gerima, Merang, Menyan, Sriangun, Jungkang Adung sedangkan di Sumatera disebut sebagai Gaharu Buaya, Lapis Kulit , Manemeng, Geronggong, Panggatutup, Pinang Baek, Pulai Miyang, Setalam, Balun, Bacang Kulit, Garu Anteru, Kayu Bulu.
Kayu Ramin disebut “an attractive,high class utility hardwood” dengan tekstur yang halus dan rata serta berserat halus sehingga merupakan bahan yang bernilai tinggi untuk kontruksi ringan dan
penggunaan lainnya, seperti furniture dan hiasan interior. Hal ini menyebabkan terjadinya peningkatan eksploitasi kayu ramin di alam tanpa diikuti upaya budidaya maupun upaya menjamin kelestariaannya hingga berdampak terhadap terancamnya kepunahan jenis ini sehingga masuk dalam daftar merah IUCN dan menurut CITES pada tahun 2001 tergolong dalam appendix III dan meningkat menjadi appendix II pada tahun 2004.
“...jenis kayu Ramin kini hanya dapat dijumpai di beberapa kawasan hutan rawa Pulau Sumatera, kepulauan di Selat Karimata, dan Pulau Kalimantan dan sulit untuk menemukan tegakan yang berdiameter besar...”
KAWASAN KONSERVASI HUTAN RAMIN ( Gonystilus bancanus (Miq) Kurz.)
Kawasan konservasi hutan ramin secara administrasi terletak di Desa Lahei, Kecamatan Mentangai, Kabupaten Kuala Kapuas, Propinsi Kalimantan Tengah dan secara geografis terletak pada 01o37’35,16” Lintang Selatan dan 114o05’11,15” Bujur Timur. Untuk menuju lokasi tersebut dapat dicapai melalui jalur darat Jl. Palangka Raya – Buntok tepatnya di Km 41, yang dapat ditempuh selama ± 1,5 jam dari Palangka Raya kemudian dilanjutkan dengan jalan kaki ± 4 Km.
Mungkin sebagian besar orang baru mendengar keberadaan Kawasan Konservasi Hutan Ramin ( Gonystilus bancanus (Miq) Kurz.) di Indonesia karena menurut UU No. 5 tahun 1990 yang dimaksud kawasan konservasi adalah Taman Nasional, Suaka Margasatwa, Cagar Alam, Taman Hutan Rakyat dan Taman Wisata Alam. Terlepas keberadaan Kawasan Konservasi Hutan Ramin ( Gonystilus bancanus (Miq) Kurz.) sesuai atau tidak dengan UU No.5 Tahun 1990, keberadaan kawasan ini di wilayah Desa Lahei Kecamatan Mentangai Kabupaten Kapuas Kalimantan Tengah merupakan salah satu upaya untuk menyelamatkan pohon ramin ( Gonystilus bancanus (Miq) Kurz.) dari kepunahan.
Penunjukkan Kawasan Konservasi Hutan Ramin di wilayah Desa Lahei Kecamatan Mentangai seluas 200 Ha didasarkan pada Surat Keputusan Bupati Kapuas Nomor : 705 Tahun 2003. Penunjukkan kawasan ini diawali dari pengajuan proposal kebun Ramin atas nama Sdr. M. Dimbe Tanggal 6 Juni 2002 yang kemudian ditindaklanjuti dengan orientasi tata batas dan inventarisasi tegakan ramin. Kawasan ini terletak di kawasan hutan milik Negara cq. Pemerintah Kabupaten Kapuas bekas HPH PT. Gempita Kalimantan Tengah.
Berdasarkan data proposal Kebun Ramin di lokasi tersebut, dalam jalur pengamatan sepanjang 6 km yang dibuat mengelilingi batas kawasan dengan lebar jalur 25 m dan luas plot contoh 15 Ha ditemukan 374 pohon dengan diameter ≥ 30 cm sehingga kerapatan pohon ramin pada lokasi tersebut adalah 24,93 indiv/ha. Secara detail data hasil pengukuran pohon ramin tersebut dapat dilihat pada Tabel 1।
Melihat kondisi hutan dan tegakan ramin yang ada dimana penulis berkesempatan melaksanakan survey pada areal tersebut dalam rangka kegiatan ITTO, kawasan ini sangat potensial untuk dikembangkan menjadi sumber benih dalam rangka menyediakan benih ramin guna budidaya maupun kegiatan pelestarian. Kawasan ini juga telah mendapat sertifikasi sebagai sumber benih tanaman hutan ramin dengan klasifikasi Tegakan Benih Teridentifikasi dari BPTH Kalimantan Selatan Nomor : 021/V-BPTH.KAL-2/STFK/2004 dimana wewenang pengelolaanya oleh Dinas Kehutanan Kab. Kapuas. Meskipun telah mendapatkan sertifikasi tetapi pengelolaannya belum optimal, kegiatan untuk memproduksi benihpun belum ada. Kondisi ini sangat disayangkan, mengingat kawasan tersebut kemungkinan merupakan tegakan ramin yang tersisa dengan kondisi tegakan masih baik. Apabila tidak ada upaya tindak lanjut maka penulis perkirakan tegakan yang tersisa inipun akan ditebang oleh pihak yang tidak bertanggungjawab karena tidak memberikan manfaat ekonomis secara langsung dan punahlah ramin karena tidak tersedianya permudaan alam untuk melakukan regenerasi dan sumber benih untuk pengembangan in-situ maupun ek-situ. Sebuah kondisi yang sangat tidak kita harapkan terjadi, beberapa contoh kasus sudah ada, Sebuah kawasan konservasi yang ditetapkan pada tahun 1987 hasil perjuangan dari Bapak Djalal Abidin sejak tahun 70-an dengan nama ‘Hutan Lindung Ramin’ berada di desa Kempas Jaya, Kecamatan Tempuiling Kabupaten Indragiri Hilir, dengan memiliki luas sekitar 1.600 hektar. Kini Kondisi hutan lindung tersebut sangat memprihatinkan dan bisa dikatakan telah ‘hilang’ (Sumber : Wawancara Tim Studi FWI, 2002).
PENUTUP
Kawasan konservasi hutan ramin di Desa Lahei Kec. Mentangai Kab. Kapuas merupakan tegakan ramin yang tersisa dengan kondisi tegakan yang baik sehingga sangat potensial untuk dikembangkan menjadi sumber benih ramin dalam rangka pengembangan in-situ maupun ek-situ guna melestarikan ramin. Upaya ini harus didukung dengan teknologi dari hasil kegiatan-kegiatan penelitian yang dilakukan mengingat sifat spesifik jenis ini, seperti musim berbunga dan berbuah yang tidak tetap dan tidak berbuah sepanjang tahun, akan berbuah pada diameter diatas 35 cm, rendahnya persentase hidup kegiatan penanaman, pertumbuhan anakan ramin yang lambat, viabilitas benih dan penurunan daya kecambah sampai 50% jika benih disimpan 2-3 minggu.
Upaya penyelamatan tegakan ramin yang tersisa harus segera dilakukan, sebelum terlambat dan terjadi kepunahan ramin, hal ini perlu diikuti dengan pengelolaan yang intensif dan mengembangkannya menjadi tegakan-tegakan sumber benih.
Penunjukan kawasan konservasi hutan ramin di Desa Lahei Kec. Mentangai Kab. Kapuas layak dijadikan contoh sebagai upaya penyelamatan ramin tetapi perlu diikuti pengelolaan yang optimal sehingga tidak terjadi lagi kasus seperti hilangnya Hutan Lindung Ramin di Desa Kempas Jaya, Kec. Tempuiling, Kab. Indragiri Hilir.
* Calon Peneliti pada Balai Penelitian Teknologi Perbenihan SambojaJl. Soekarno-Hatta Km 38 Samboja, Kaltim
e-mail : wahyuk@dephut.go.id
izin copas mas buat tugas kuliah
BalasHapusSusanto BPTH Kalimantan