Minggu, 20 Desember 2009

Mari Menanam Pohon


Menurut Presiden SBY, Kalau tiap tahun kita menanam minimal 230 juta, 10 tahun kita punya 2,3 milyar pohon. 20 tahun kita punya 4,6 milyar pohon, 30 tahun 6,9 milyar pohon, 40 tahun 9,2 milyar pohon yang menjadi tonggak perbaikan lingkungan di dunia ini. Kita akan memiliki sekitar 9,3 milyar pohon. Andaikata dari jumlah itu yang hidup subur baik ada separuhnya, kita memiliki sekitar 5 milyar pohon. Andaikata pada tahun itu satu pohon, tidak usah mampu menyerap 28 ton, tapi mampu menyerap 10 ton saja, kita dapat menyerap tiap tahun, 50 milyar ton CO2. Sungguh kontribusi yang luarbiasa dari anak bangsa Indonesia kepada negeri dan dunianya!

Itu adalah angka yang pesimis. Angka yang konservatif, apalagi nanti kalo negara dan masyarakat bersama-sama menanam yang lebih banyak lagi, maka akan lebih banyak lagi CO2 yang mampu kita serap. Oleh karena itu, mari kita sukseskan gerakan One Man One Tree.

Rabu, 11 November 2009

PEMANFAATAN KAYU KARET


Pendahuluan
Karet (Hevea brasiliensis) merupakan pohon penghasil getah karet yang banyak ditanam di perkebunan. Saat ini tanaman karet rakyat telah berkembang, bahkan tanaman gerhan banyak yang memilih karet sebagai pilihannya. Karet selain diambil getahnya sebagai bahan baku industri lateks yang potensial, juga kayunya dimanfaatkan sebagai bahan baku plywood. Disaat industri mengalami kekurangan bahan baku dari hutan alam, kayu karet merupakan salah satu jenis alternatif yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku industri.
Sebagai tanaman hutan, karet juga dapat menjadi tanaman alternatif bagi hutan tanaman industri (HTI). Selama ini hanya satu persen dari konsesi HTI yang dimanfaatkan untuk karet. Padahal, nilai ekonomis karet sangat tinggi, bukan saja lateksnya, tetapi juga kayunya ketika tanaman sudah tidak produktif lagi. Kayu karet cukup mahal harganya karena teksturnya sangat bagus.
Ciri-ciri Anatomi Kayu Karet
l Kayu karet gergajian yang berasal dari dolok yang baru ditebang berwarna keputih-putihan. Keadaan tersebut cepat mengalami perubahan warna menjadi berwarna coklat muda agak kepirang-pirangan, sedangkan kayu gubalnya berwarna putih.
l Tidak memiliki batas yang jelas antara kayu gubal dan kayu teras.
l Kayu karet berserat lurus dengan tekstur beragam dari agak kasar dan rata.
l Pada bagian yang berdekatan dengan mata kayu , serat kayu sering berpadu (interloked grain) sehingga dalam pengolahan diperlukan ketelitian dan peralatan yang sangat tajam agar tidak cacat berupa serat berbulu dan serat patah. Lingkaran tumbuh tampak jelas, karena warna kayu awal yang lebih terang dari kayu akhir. Pori nampak dengan mata biasa atau kelompok dalam deretan radial 2-4, tersebar rata (1-2 per mm).
l Jari-jari kayu halus atau kadang-kadang agak lebar, kelihatan dibawah lup sebagai garis radial berwarna lebih terang dari kayu sekelilingnya dalam jumlah yang cukup banyak (8-10 permm).
l Parenchim matatracheal tampak jelas sebagai pita konsentrik sejajar dengan lingkaran tumbuh. Jumlah pita parenchim bertambah dari kayu awal ke kayu akhir.

Sifat Fisik Mekanis
l Kayu agak lunak dan mempunyai bau yang khas
l Mudah dikerjakan terutama dibelah, dapat digergaji tanpa menimbulkan kesulitan dan mudah diserut sampai halus, tetapi mempunyai kecenderungan untuk pecah jika dipaku.
l Papan yang tebalnya sampai 2,5 cm akan menjadi kering udara dalam waktu kira-kira 2 bulan jika dikeringkan dibawah atap. Dalam masa pengeringan kayu karet mudah timbul cacat seperti bengkok, pecah atau menggelinjang.
l Untuk menghidari serangan bubuk kayu basah dan jamur biru (blue stain), papan yang akan dikeringkan sebaiknya dicelupkan dahulu dalam larutan obat.
l Kayu karet yang tidak diawetkan dan dipasang di tempat yang selalu berhubungan dengan tanah lembab mudah diserang rayap tanah dan jamur pelapuk.
Pencegahan sementara terhadap kayu karet yang baru ditebang/digergaji dapat dilakukan dengan cara meleburkan atau mencelupkan ke dalam larutan pestisida (Copper-8, TCMTB/MTC, MBT, TCMTB + Boraks, TCMTB + decamethrin).
Kayu Karet & Revitalisasi
Besarnya kapasitas terpasang industri perkayuan di Indonesia saat ini tidak seimbang dengan kemampuan sumber daya hutan dalam memasok sumber bahan baku kayu. Berkurangnya potensi tegakan dan luas kawasan hutan yang diakibatkan oleh perambah dan penjarahan hasil hutan berupa kayu bulat menyebabkan industri perkayuan di Indonesia harus melaksanakan restrukturisasi mesin-mesin produksi mutakhir, guna efisiensi bahan baku kayu dari hutan alam.
Dalam rangka revitalisasi industri kehutanan, beberapa perusahaan menilai, bahwa ketergantungan sumber bahan baku dari hutan alam harus segera diganti dengan sumber bahan baku yang berasal dari hutan tanaman, hutan rakyat, kayu rakyat, hal ini dilakukan agar industri tetap bertahan dan tidak terjadi pengurangan bahkan pemutusan hubungan kerja terhadap karyawan.

Berbagai upaya yang dapat ditempuh oleh perusahaan industri kehutanan antara lain melalui efisiensi penggunaan mesin dan penggantian sumber bahan baku yang berasal bukan dari hutan alam.

Potensi Kayu Karet

Potensi kayu karet di Indonesia sangat besar, Indonesia merupakan negara dengan kebun karet terluas di dunia, mengungguli Thailand dan Malaysia. Luas perkebunan karet di Indonesia menurut jenis pengusahaannya sampai tahun 2000 mencapai luas areal 3.742.1843 ha, yang terdiri dari perkebunan rakyat 3.201.072 ha, negara 238.137 ha, perusahaan swasta 302.975 ha juta hektar. Sebagai contoh di Provinsi Sumatera Selatan, menurut data pada Dinas Perkebunan Sumatera Selatan tahun 2004, luas perkebunan karet yang ada mencapai 900.000 hektar. Luasan ini merupakan lahan karet terluas di seluruh Indonesia. Sekitar 129 ribu hektar diantaranya merupakan lahan karet yang sudah tua dan tidak produktif lagi.
Potensi kayu yang ada dari kayu karet tua yang perlu diremajakan sekitar 6,5 juta m3. Sedangkan peremajaan normal yang dilakukan per tahun umumnya sekitar 4% dari luas kebun karet yang ada atau sekitar 36.000 hektar. Dengan asumsi per hektar menghasilkan 50 m3 kayu, maka kayu hasil peremajaan ini bisa menghasilkan 1,8 juta m3 kayu karet yang dapat dijadikan sebagai sumber bahan baku industri kayu.

Potensi sebesar ini dapat menjamin kesinambungan pasokan bahan baku industri kayu dengan bahan baku kayu karet sebagai substitusi kebutuhan bahan baku kayu yang berasal dari kayu rakyat dan perkebunan.

Penggunaan bahan baku kayu karet atau kayu lainnya dari lahan masyarakat merupakan solusi yang saling menguntungkan bagi semua pihak. Masyarakat akan terbantu karena terbukanya lapangan kerja baru di samping terbantu juga dalam meremajakan tanaman karet serta mengurangi resiko pembakaran lahan/kebun.

Dari sisi perusahaan, pasokan kayu akan terjamin dan terbukanya peluang untuk mengembangkan hutan kemasyarakatan.



Kayu karet selain dimanfaatkan untuk bahan baku industri kayu berupa veener, juga masyarakat dapat mengolah kayu karet menjadi meubel dan peralatan rumah tangga. Dengan memanfaatkan kayu karet sebagai bahan baku alternatif, maka ketergantungan terhadap hutan produksi alam sebagai penghasil kayu dapat dikurangi, dengan demikian kita telah memberi kesempatan kepada hutan alam untuk memulihkan fungsi dan kemampuannya secara optimal.µSumber:LEaflet Pemanfaatan kayu karet, Pusat Informasi Kehutanan, 2007.

Senin, 09 November 2009

POPULASI ORANGUTAN


Indonesia memiliki dua jenis orangutan yaitu jenis Sumatera (Pongo abelii) dan jenis Kalimantan (Pongo pygmaeus). Populasi kedua jenis orangutan tersebut diperkirakan berjumlah lebih dari 61 ribu ekor, lebih dari 54 ribu ekor jenis Kalimantan dan lebih dari 6 ribu ekor jenis Sumatera.
Untuk jenis Kalimantan, Indonesia memiliki tiga sub species orangutan Kalimantan, yaitu Pongo pygmaeus pygmaeus di Kalimantan Barat, Pongo pygmaeus wurmbii di bagian Selatan dan Barat daya Kalimantan, dan Pongo pygmaeus morio dari Sabah menyebar ke Selatan sampai Sungai Mahakam di Kalimantan Timur.

Rabu, 04 November 2009

DATA LUAS KAWASAN HUTAN


Data luas kawasan hutan 137.090.468,18 Ha merupakan hasil perhitungan dari total luasan kawasan hutan berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan tentang Penunjukkan Kawasan Hutan dan Kawasan Konservasi Perairan (sebanyak 30 propinsi) dan berdasarkan Tata Guna Hutan Kesepakatan (sebanyak 3 propinsi).Sumber:Statistik Planologi Kehutanan Tahun 2008.

Kamis, 29 Oktober 2009

10 Persen Spesies Terancam

Hasil sensus yang dilakukan pemerintah Australia menunjukkan dampak perubahan iklim saat ini diperkirakan akan mengancam sekitar populasi 10 persen spesies yang ada di dunia. Spesies yang terancam punah meliputi 29,2 persen jenis amfibi, 20,8 persen mamalia, 12,2 persen jenis burung, 4,8 persen jenis reptil, dan 4,1 persen jenis ikan.Bahkan menurut menteri lingkungan hidup Australia, Peter Garret, sebanyak 87 persen mamalia dan 93 persen reptil yang ada di Australia tidak terdapat di belahan dunia lain. Ini berarti sudah saatnya mencari cara untuk melindungi satwa langka dari ancaman kepunahanb.(dicuplik dari CHIC No. 48-2009.

Sabtu, 05 September 2009

SUKUN & SAGU


Tepung Sukun dan Sagu Bisa Tekan Lonjakan Impor Gandum
Suhendra - detikFinance

Jakarta - Menteri Kehutanan MS Kaban menyatakan potensi pemakaian tepung sagu dan sukun untuk mengganti kebutuhan gandum yang saat ini masih tinggi impornya sangat memungkinkan.

Jika tepung gandum dan sukun dikembangkan dengan serius maka dapat menekan impor gandum yang per tahunnya rata-rata naik 4%.

Hal ini disampaikannya dalam sambutan Penyerahan Akreditasi Lembaga Sertifikasi Profesi Kehutanan Indonesia, di Gedung Manggala Wanabakti di Jakarta, Kamis (3/9/2009).

"Keduanya bisa mensubstitusi volume impor gandum yang cenderung naik 4% setiap tahunnya,'' ucapnya.

Dikatakannya peningkatan potensi dua jenis tepung itu, juga akan mendorong pertambahan jumlah angkatan kerja di tanah air. Juga akan mendorong pertumbuhan investasi pabrik mie sukun dan mie sagu.

Saat ini, kata dia, populasi tanaman sukun mencapai 28 juta pohon, diperkirakan pada tahun 2010-2011 sudah bisa dipanen. Jika jumlah populasi tanaman sebanyak 14 juta pohon saja, maka bisa dihasilkan 1,4 juta ton tepung sukun. Sementara untuk sagu, satu pohon sagu bisa menghasilkan 250 kg tepung sagu.

Seperti diketahui impor gandum tahun 2008 yang diimpor oleh produsen terigu sebanyak 3,3 juta ton per tahun.

Dengan demikian jika asumsi peningkatan impor gandum 4% maka, tepung sukun bukan hanya bisa menekan peningkatan impor gandum namun juga bisa mensubstitusi gandum secara bertahap.(hen/dnl)(detikFinance).

Rabu, 02 September 2009

Hutan Sebagai Cadangan Pangan


Indonesia mempunyai areal sumberdaya hutan sebesar 120, 35 juta ha dengan rincian hutan konservasi 20,5 juta ha, hutan lindung 33,5 juta ha dan hutan produksi 66, 35 juta ha.

Hutan dapat menghasilkan pangan yang jumlahnya sangat besar sehingga dapat mengganti kebutuhan impor gandum, beras, gula dan bahkan dapat mengekspor pangan yang berasal dari lahan hutan.

Hutan, bukan hanya menyimpan kayu, tetapi juga menyimpan potensi non kayu yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat melalui budidaya tanaman pertanian pada lahan hutan. Kegiatan tersebut akan memberikan hasil yang menguntungkan. Baik dari segi ekonomis maupun dari segi ekologis tanpa mengubah fungsi hutannya. Budidaya tanaman pangan dapat dilakukan di bawah tegakan tanaman hutan pada kawasan hutan produksi. Sumber pangan nasional tidak hanya tergantung kepada lahan pertanian saja, tetapi juga dari lahan hutan

Potensi pangan dari dalam hutan ternyata dapat dihasilkan tidak saja pada awal musim tanam tumpangsari yang dikenal selama ini, yakni dua tahun tetapi dapat selama daur karena ternyata banyak tanaman pangan yang mampu hidup di bawah naungan dengan hasil yang tinggi. Disamping itu tesedia jenis-jenis pohon dan tumbuhan hutan yang mampu menghasilkan aneka ragam pangan berupa buah, daun, tepung dan lain-lain.

Usaha-usaha peningkatan ketahanan pangan nasional telah banyak dilakukan namun masalah kekurangan pangan masih merupakan masalah utama. Ada dua aspek yang perlu mendapat perhatian kita yaitu: pertama banyaknya lahan yang tidak dimanfaatkan (iddle). Misalnya lahan hutan yang tersebar diseluruh tanah air yang sebenarnya dapat menghasilkan pangan yang bermutu dan bergizi serta biaya dasar yang rendah karena memanfaatkan lahan di bawah tegakan hutan dan tumpang sari. Aspek yang kedua adalah budaya mengkonsumsi pangan berupa gandum dan beras yang terlanjur menjadi ukuran prestise disebagian kalangan penduduk.

Masalah ketersediaan air bagi keperluan keluarga dan industri, meningkatnya pencemaran udara, semakin berkurangnya produk oksigen, serta semakin banyaknya produk gas rumah kaca dan lain sebagainya merupakan ancaman bagi penduduk Indonesia yang saat ini mencapai lebih dari 200 juta jiwa. Hutan apabila ditata dengan baik akan dapat diandalkan untuk mengatasi masalah tersebut.

Hutan mampu menghasilkan persediaan pangan dan air nasional, selain ternyata juga dapat membantu menghindarkan kebakaran hutan, perambahan, pencurian, perusakan hutan apabila dapat memanfaatkan lahan-Iahan tersebut dengan jenis tanaman pangan campuran yang sesuai. Tanaman pangan dibawah tegakan selain menambah kesuburan tanah, juga dapat berfungsi sebagai payung terhadap erosi.

Jenis Tanaman Pangan

Selama ini beras dan gandum dianggap sebagai sumber karbohidrat yang utama, sementara beberapa jenis tanaman pangan lainnya seperti ketela pohon, ganyong, jagung, umbi-umbian hanya dianggap sebagai makanan bergizi rendah.

Beberapa jenis tanaman pangan nasional yang diprioritaskan antara lain: Ketela Pohon (Manihot utilissima POHL), Arairut, garut (Maranta arundinacea LINN), Ganyong (Lembong) (Canna edulis KER), Sukun (Artocarpus communis FORST), Ubi Jalar (Ipomoea batatas POIR), Jagung (Zea mays LINN), Kacang Tanah (Arachis hypogea LINN), Kedelai (Glycine max MERR), Talas (Colocasia esculenta SCHOTT), Ubi Gembili (Dioscorea aculcata LINN), Suweg (Amorphophallus campanulatus BL), Gadung (Dioscorea hispida POIR), Huwi Sawu (Dioscorea alata LINN), Kimpul (Hanthosoma violaceum SCHOT), Kentang (Solanum tuberosum LINN), Kentang Jawa (Klici) (Soleus tuberosum BENTH), Nenas (Ananas comosus MERR), Pisang (Musa paradisiaca LINN), Melinjo (Gnetum gnemon LINN), Nangka (Artocarpus integra MERR), Cempedak ( Artocarpus champeden SPRENG), Alpukat (Persea gratisima GAERTN), Sagu (Metroxylon sp), Rambutan (Nephelium lapnaceum), Durian (Durio zibbethinus), Cantel (Sorgum) (Syricum granum).

l. Ketela Pohon, ubi kayu (Manihot utilissima POHL)

Di Indonesia ubi kayu dijadikan makanan pokok nomor tiga setelah padi dan jagung. Potensi dan nilai ekonomi ubi kayu merupakan bahan pangan masa depan yang berdaya guna, bahan baku industri dan pakan ternak. Saat ini ubi kayu merupakan komoditas agroindustri, seperti industri tepung tapioka, industri fermentasi dan berbagai industri makanan.

2. Arairut, garut (Maranta arundinacea LINN)
Umbinya mengandung tepung pati yang sangat halus dan mudah dicerna. Umbinya dapat dipakai untuk bahan kosmetika, lem dan minuman alkohol. Umbi garut dapat dikukus dan dibuat keripik. Tanaman ini diperbanyak dengan menggunakan potongan-potongan rimpang yang bertunas atau dari pucuknya.

3.Ganyong (Lembong) (Canna edulis KER)
Tanaman ganyong berasal dari Amerika tropika, tepungnya mudah dicerna, umbi mudanya dapat dimakan sebagai sayuran. Umbinya dapat dipanen setelah tanaman berumur 6-10 bulan untuk konsumsi dengan cara direbus, sedangkan untuk menghasilkan pati pemanenan setelah tanaman berusia 15-18 bulan.


4.Ubi Jalar (Ipomoea batatas POIR),
Sebagai bahan pangan, ubi jalar merupakan sumber energi (kalori) sebesar 215 kal/ha/hari. Ubi jalar mempunyai kelebihan untuk dikembangkan, karena dapat bertahan hidup pada kondisi tanah yang kurang baik. Ubi jalar merupakan salah satu komoditas ekspor non migas.


5.Sukun (Artocarpus communis FORST)
Sukun sudah lama dimanfaatkan sebagai bahan makanan ringan, mengandung karbohidrat dan gizi yang baik. Sukun dapat ditanam di segala jenis tanah. Sukun dapat diperbanyak dengan cara okulasi, tunas akar, cangkok, stek akar, dan stek batang.

6.Jagung (Zea mays LINN)
Jagung sebagai sumber karbohidrat potensial dan mempunyai kandungan gizi yang cukup tinggi dibandingkan dengan beras dan gandum, kandungan kalium dan fospor lebih baik dibandingkan beras dan gandum. Jagung merupakan sumber bahan baku industri makanan seperti maizena dan minyak jagung, Varietas unggul jagung di Indonesia antara lain varietas arjuna BISI (BISI-1 dan BISI-2). Produk olahan jagung yang sudah dikenal masyarakat antara lain, emping jagung, brondong jagung. Di beberapa daerah (NTT), jagung merupakan makanan pokok pengganti beras.

7.kimpul (Hanthosoma violaceum SCHOT)
Tanaman kimpul hampir mirip dengan talas, tanaman ini berasal dari Amerika Tengah, di Indonesia tanaman ini tumbuh hampir di seluruh kepulauan mulai dataran rendah sampai pegunungan. Kimpul dapat diolah menjadi aneka makanan.

8.kentang (Artocarpus communis FORST)

Kentang ditanam untuk diambil umbinya dan merupakan makanan pokok di negara yang beriklim dingin. Umbi kentang dapat diolah menjadi pati atau alkohol, juga digunakan dalam industri tekstil, pengolahan wol, kain sutera, pembuatan glukosa, permen, cat , dsb.Varietas kentang yang biasa ditanam di Indonesia adalah kentang jawa, prooangan (priangan), dan tongger (tengger).

9.Huwi Sawu (Dioscorea alata LINN),
Tanaman ini berasal dari Asia Tenggara, umbinya sebagai bahan baku industri pati dan alkohol.Jenis ini tumbuh di hutan-hutan, di Jawa kadang-kadang ditanam di pekarangan rumah.

10.Nenas (Ananas comosus MERR),
Permintaan pasar dalam negeri terhadap nenas cenderung meningkat, produksi dan produktifitas nenas di Indonesia masih rendah, karena bentuk kultur budidayanya masih bersifat usaha sampingan.

11.Ubi (Gembili) (Dioscorea aculcata LINN),
Umbi gembili dapat dimakan setelah direbus, umbinya sebagai bahan baku
industri pati dan alkohol.

12.Pisang (Musa paradisiaca LINN),
Produksi pisang di Indonesia cukup besar dan menjadi salah satu penghasil pisang terbesar di dunia.

Penutup

Dari lahan hutan dapat dihasilkan berbagai produksi pangan yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat, dengan dikembangkannya tanaman pangan pada lahan hutan, maka diharapkan lapangan kerja di sector tanaman pangan terbuka, sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan petani di sekitar hutan. Saya merasa yakin upaya peningkatan hasil pangan dan air dari lahan hut an dan kebun ini dapat membantu menunjang persediaan pangan dan air secara nasional sehingga tidak terjadi lagi krisis pangan seperti yang sedang kita alami pada saat ini.

Penanaman tanaman pangan di dalam hutan juga menjamin terjaganya cadangan dan sumber air bagi masyarakat karena meningkatnya kelembaban, semakin bertambahnya produksi oksigen di dalam hutan. Hutan tropis yang terjaga dengan baik ternyata dapat menghasilkan oksigen di atas 50 % dari produksi seluruh oksigen dunia. Sementara itu diketahui bahwa karena kemampuan fotosyntesisnya, hutan tropis juga mampu mengikat CO2 di atas 50% sehingga berfungsi sebagai penyelamat polusi

Sumber: Hutan Dan Kebun Sebagai Sumber Pangan Nasional, Departemen Kehutanan dan Perkebunan, Kantor Meneg Pangan Dan Holtikultura, Universitas Gajah Mada(1999)

Pangan Alternatif


Menteri Kehutanan MS Kaban mengatakan bahwa masyarakat Indonesia harus mengembangkan bahan pangan alternatif, masyarakat dapat menjadikan kawasan hutan rakyat dan wilayah penyangga hutan lindung untuk pengembangan tanaman pangan alternatif itu.

"Banyak bahan pangan alternatif yang dapat dikembangkan, antara lain singkong, sukun, jagung, dan sagu yang dapat dijadikan makanan pokok pengganti beras," kata Kaban seusai menjadi pembicara dalam rapat koordinasi Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan di Yogyakarta, Kamis.

Ia mengatakan, sumber daya kawasan hutan dapat dimanfaatkan untuk budidaya tahanan pangan, karena wilayah hutan dan kawasan penopang di sekitar hutan masih potensial dijadikan pusat budidaya tanaman pangan.

"Pulau Jawa merupakan wilayah yang paling intensif dalam mengupayakan pengembangan tanaman pangan di sekitar kawasan hutan, terutama hutan rakyat," katanya.

Menurutnya, penanaman pohon sukun sebagai tanaman yang menghasilkan bahan pangan alternatif mulai dikembangkan di pulau Jawa.

Departemen kehutanan menanam 24 juta pohon sukun di seluruh Indonesia, 60 persen pengembangan tanaman tersebut dilakukan di Pulau Jawa.

"Sukun menjadi bahan pangan alternatif penganti beras, kami mengembangkannya sejak tiga tahun lalu," katanya.

Kaban mengatakan, pengembangan tanaman singkong, jagung, sagu, ketela, dan umbi-umbian sebagai tanaman alternatif pengganti beras terus dikembangkan di seluruh Indonesia.(Sumber:Antara/FINROLL News).

"Upaya tersebut dapat mengurangi ketergantungan masyarakat Indonesia dalam mengonsumsi beras sebagai makanan pokok," katanya.

Pengembangan tanaman alternatif tersebut, menurutnya, sebagian besar dilakukan di areal sekitar hutan rakyat, yaitu areal lahan penduduk yang menopang keberadaan hutan lindung dan hutan rakyat.

Sumber daya hutan yang menurutnya bisa menjadi bahan pangan alternatif lainnya adalah sagu.

Menurutnya, sagu sebagai bahan pangan hasil hutan mampu menjadi cadangan pangan pada masa mendatang.

"Sagu merupakan cadangan pangan terbesar yang berada di kawasan hutan," katanya.

Daerah kawasan hutan penghasil sagu harus tetap dilestarikan, katanya, karena dapat memenuhi kebutuhan pangan masyarakat di sekitar kawasan hutan hingga 30 tahun mendatang.

Jumat, 28 Agustus 2009

PNBP Kehutanan

Total penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP)dari sektor kehutanan untuk penggunaan kawasan hutan guna keperluan pertambangan yang sudah diterima mencapai Rp. 65,037 miliar, berasal dari 22 perusahaan pertambangan.Sementara sampai dengan bulan Juli 2009 mencapai Rp. 12,7 miliar.Untuk tahun 2009, target PNBP sebesar Rp. 122 miliar.(sumber:Pusinfo-dephut).

Selasa, 25 Agustus 2009

POPULASI KOMODO


Kapuslit Biologi LIPI Siti N.Prijono mengatakan populasi komodo (Varanus komodoensis)di Wae Wuul tinggal 17 ekor, bukan 300 ekor. Populasi komodo di Pulau Komodo tinggal 628 ekor, Pulau Rinca 615 ekor, di P. Gili Motang dan P. Nusa Kode menurun, sementara di Pulau Padar sudah tidak ditemukan.Hasil Survey di luar kawasan TN Komodo menunjukkan penurunan populasi komodo di pantai utara dan barat Flores.

Rabu, 19 Agustus 2009

Si Aceng, Pulang Kampung Euy..!



Seekor macan tutul (Panthera pardus) bernama Aceng, yang luka parah terjerat perangkap babi hutan di hutan lindung Gunung Karang, Pandeglang, Banten. hampir 10 bulan yang lalu kini telah sembuh total. Aceng, telah kembali pulang ke habitatnya di hutan lindung Gunung Karang, Pandeglang, Banten. Kembalinya Aceng disambut masyarakat Pandeglang.

Turut mengantar dan melepas kepulangan Aceng adalah Kepala Balai Besar KSDA Jawa Barat, Ir. Tb. Unu Nitibaskara. Pelepasan Aceng disaksikan Bupati Dimyati Natakusumah, jajaran Balai Taman Nasional Ujung Kulon (TNUK), Dinas Kehutanan dan Perkebunan (Dishutbun), aparat desa dan tokoh masyarakat setempat.Kembalinya Aceng yang merupakan maskot Provinsi Jawa Barat ini disambut gembira oleh masyarakat di sekitar Gunung Karang.

Satwa langka dan dilindungi ini beberapa bulan lalu tepatnya pada 28 Agustus 2008, ditemukan terjerat jebakan babi hutan yang dipasang pemburu di Gunung Karang, Pandeglang. Aceng, yang terluka parah di bagian perut selama 10 bulan dirawat di PPS Gadog, selama dirawat Aceng telah menghabiskan biaya Rp 20 juta, yaitu untuk makanannya berupa daging celeng rata-rata Rp. 2 juta perbulan.

Pada kesempatan itu Kepala Balai Besar KSDA Jawa Barat, Ir. Tb,Unu Nitibaskara menandatangani berita acara serah terima satwa kepada masyarakat. Dalam sambutannya Tubagus Unu Nitibaskara mengucapkan terima kasih kepada masyarakat dan berbagai pihak yang peduli terhadap upaya pelestarian satwa. Selanjutnya dikatakan, pengembalian satwa ke habitatnya adalah untuk melestarikan macan tutul di kawasan tersebut.*(ud-dari berbagai sumber)

Rabu, 12 Agustus 2009

R O T A N


Rotan merupakan salah satu sumber keanekaragaman hayati Indonesia.Indonesia sebagai negara penghasil rotan terbesar di dunia, untuk itu rotan merupakan penghasil devisa yang cukup besar. Rotan-rotan tersebut tersebar di pulau Kalimantan, Sumatera dan Sulawesi (90 %) sedangkan 10 % sisanya tersebar di pulau Jawa dan pulau-pulau lainnya yang memiliki hutan alam.

Dari luas keseluruhan hutan tropis Indonesia (120,35 juta ha), seluas 13,2 juta ha ditumbuhi oleh tanaman rotan. Dan di hutan tersebut terdapat 8 marga rotan dengan 300 jenis, sementara yang baru dimanfaatkan sebanyak 51 jenis. Hal ini masih memberikan peluang yang besar dalam pengelolaan rotan, dan rotan perlu untuk dimanfaatkan secara optimal guna mendukung meningkatkan devisa negara serta peluang usaha yang menjanjikan bagi masyarakat dalam upaya meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan.


PENGELOLAAN ROTAN

Rotan yang umumnya berbentuk bulat dapat diolah menjadi barang jadi maupun setengah jadi. Pengelolaan dalam industri rotan dilakukan dengan memproses rotan bulat tersebut menjadi bagian-bagian rotan seperti kulit dan hati yang masing-masing bagian tersebut kemudian diolah sesuai tujuan dan pemanfaatannya.


Rotan seel (Daemonorojo melanochaetes Bacc) yang telah dibersihkan digosok dengan serbuk gergaji atau sabut kelapa, kemudian dipotong-potong sesuai standar, dan dijemur hingga kering.

Adapun proses pengelolaan rotan meliputi hal-hal sebagai berikut :


1. Penggorengan

Tujuan dari penggorengan rotan adalah untuk menurunkan kadar air agar mudah dan cepat mengering, dan mencegah terjadinya serangan jamur pada rotan tersebut. Penggorengan tersebut dengan mempergunakan minyak solar yang dicampur dengan minyak kelapa.


2. Penggosokkan

Dilakukan penggosokan pada rotan tidak lain bertujuan untuk menghilangkan getah-getah yang masi9h menempel pada kulit rotan tersebut. Penggoisokan dengan mempergunakan kain perca, sabut kelapa atau karung goni yang dicampur dengan serbuk gergaji. Kemudian rotan dicuci dengan air bersih maka rotan akan terlihat cerah dan mengkilap.


3. Pengeringan

Pengeringan rotan dilakukan dengan cara dijemur di terik matahari, dan penjemuran ini dapat berlangsung lama 22 hari hingga 65 hari. Pengeringan akan menghasilkan rotan lebih baik dan mengkilap.


4. Pengupasan dan Pemolesan

Proses ini dilakukan pada jenis rotan yang besar dan dalam keadaan kering untuk menghasilkan rotan yang memiliki diameter secara merata dan warna pun akan lebih seragam.


5.Pembengkokan dan Pelengkungan

Pembengkokan dan pelengkungan dilakukan pada jenis rotan yang berdiameter besar dan sesuai dengan penggunaannya. Dilakkukan dengan cara melunakkannya dengan uap air panas yang disebut steaming yang mempergunakan tabung silinder, agar jaringan pada rotan menjadi lunak sehingga mudsah untuk dilengkungkan sesuai kebutuhan.


6. Pemutihan

Proses pemutihan bertujuan untuk menghilangkan silica dan mengurangi kromofort (gugus penyebab warna) oksidasi terhadap struktur aromatic dari lignin dan karbohidrat. Pemutihan dilakukan untuk memenuhi permintaan konsumen.


7. Pengasapan

Dalam proses ini dilakukan pada rotan yang telah kering namun masih berkulit (alami), yaitu untuk menghasilkan warna kuning dan mengkilap pada rotan. Ini merupakan proses oksidasi rotan dengan belerang agar warna kulit pada rotan lebih putih, dan dilaksanakan di dalam rumah asap yang berbentuk kubah terbuat dari tembok dan balok kayu.


Rotan memiliki peranan penting dalam membantu masyarakat meningkatkan pendapatan. Dan pada umumnya petani atau pencari rotan dalam setiap harinya mendapat penghasilan sebesar Rp 82.500,-. Sedangkan bagi pengrajin, rotan dapat meningkatkan produk dan peralatan rumah tangga, memberikan peluang pasar yang cukup menguntungkan.

Barang-barang kerajinan dengan bahan baku rotan saat ini banyak diminati, baik dari kalangan masyarakat menengah sampai pada masyarakat kelas atas. Kini produk rotan seperti lampit, meubel, keranjang, souvenir, serta berbagai bentuk kerajinan lainnya banyak menghiasi ruang-ruang mewah perumahan elite. Kiranya hal tersebut sangat membantu para pekerja industri rotan, dalam setiap tahunnya mereka dapat menghasilkan pendapatan rata-rata 3-5 juta rupiah.

Produksi rotan akhir-akhir ini semakin meningkat oleh karena banyaknya permintaan, baik dalam negeri maupun luar negeri.

Indonesia sebagai produsen utama jenis-jenis rotan, kini dapat menjadi pemasok utama bahan baku meubel berbahan dasar rotan ke luar negeri disamping produk kerajinan lainnya. Rotan Indonesia mampu bersaing di pasaran dunia.

Kamis, 06 Agustus 2009

TIPE HUTAN




Berdasarkan hasil Inventarisasi Hutan Nasional tahun 1996, hutan di Indonesia berada di dalam maupun di luar kawasan hutan. Komposisi hutan menurut tipe dan keberadaannya adalah sebagai berikut :

Di dalam kawasan hutan :
· Hutan dataran rendah dengan ketinggian dibawah 1000 m dpl seluas 63,76 juta ha;
· Hutan dataran tinggi dengan ketinggian antara 1000 – 2000 m dpl seluas 10,65 juta ha;
· Hutan Pegunungan dengan ketinggian diatas 2000 m dpl seluas 2,81 juta ha
· Hutan Mangrove yang didominasi Rhizophora sp, Bruquiera sp, dan Aviceneae seluas 0,002 juta ha;
· Hutan Rawa seluas 10,53 juta ha
Sumber (Informasi Umum Kehutanan - 2002)

KUDA DAN KUSIR


Sumber daya hutan digambarkan sebagai “kuda” yang mudah diperas tenaganya untuk kepentingan pembangunan dan peningkatan devisa negara. Sedangkan rimbawan digambarkan sebagai “kusir” yang memelihara dan mengendalikannya. Oleh karena itu laju kerusakan sumber daya hutan sangat tergantung pada kusirnya = Rimbawan.
Secara singkat perlu dikatakan bahwa sudah saatnya Rimbawan melakukan introspeksi atas upaya eksploitasi SDH secara berlebihan dan membiarkan “hutan bernafas” sehingga mempunyai kesempatan berkembang memperbaiki ekosistemnya. Walaupun ada pergeseran permintaan produk sumberdaya hutan, namun pemanfaatan hasil hutan non kayu dan jasa lingkungan seperti air, wisata dan lain sebagainya sampai saat ini belum maksimal. Hal tersebut antara lain disebabkan masih terfokusnya pemanfaatan hutan pada produk kayu.
Pengelolaan dan pemanfaatan multi-fungsi hutan dan kebun perlu ditingkatkan sebagai alternatif sumber devisa dan pendapatan masyarakat di dan sekitar hutan. Di samping itu memberikan kesempatan pada sumber daya hutan khususnya kayu untuk bernafas.
Seluruh Rimbawan tanpa kecuali perlu bercermin, koreksi diri, menyadari kelemahannya dan menatap masa depan melalui upaya konservasi dan rehabilitasi SDA dalam arti luas dengan melibatkan seluruh pihak terkait.
Sumber Kuda dan Kusir : Korsa Rimbawan dan Rehabilitasi Hutan (2002)

Minggu, 26 Juli 2009

POHON PULAI SUPER DENGAN VOLUME TINGGI


Penulis : Riskan Effendi, Puslitbang Hutan Tanaman Bogor.
Pohon pulai dengan jumlah tujuh batang yang terdapat dalam satu pohon. Pohon tersebut ditemui di pinggir jalan menuju KHDTK Kemampo (Sumatera Selatan) yaitu pada ruas jalan raya antara Palembag – Jambi, berdekatan dengan Balai Penelitian Karet Sembawa Palembang.
Diameter batang pohon tersebut antara 20-35 cm. Tinggi batang bebas cabang bervariasi antara 10-15 m. Bentuk batang bulat. Dengan jumlah tujuh batang dan ukuran diameter tersebut diperkirakan volume pohon pulai tersebut itu sekitar 2,5 - 3 m3. Bila dalam satu hektar terdapat 400 pohon seperti diatas dengan jarak tanam 5x5 m, maka volume yang bisa dipanen lebih dari 1000 m3 per hektar. Ini adalah perkiraan maksimum yang dapat dicapai untuk jenis pulai ini. Namun demikian jenis pulai mempunyai potensi untuk menghasilkan volume sekitar 1000 m3 per ha.
Jenis pohon pulai merupakan salah satu jenis pohon yang mempunyai kemampuan untuk berbatang lebih dari satu dalam satu pohon. Bila dapat dihasilkan dalam satu pohon sebanyak 3 batang maka akan diperoleh 1.200 batang /ha untuk jarak tanam 5x5m atau sebanyak 1.875 batang dengan jarak tanam 4x4 m. Volume batang dengan diameter 30 cm dan tinggi bebas cabang 10 m adalah 0,424 m3. Volume per ha yang dapat dipanen setelah masak tebang menurut jarak tanam seperti tabel berikut:
No Jarak tanam Jumlah batang Volume
Per batang Volume
m3/per ha Keterangan
1 3x3 m 3.300 0,424 1.399 1. Satu pohon terdapat 3 batang
2. Vol. batang diameter 30 cm dengan tinggi batang bebas cabang 10 m = 0,424 m3
2 4x4 m 1.875 0,424 795
3 5x4 m 1.500 0,424 636
4 5x5 m 1.200 0,424 508
Angka-angka diatas merupakan perkiraan kasar dan belum dilakukan dalam praktek.Mungkin saja setiap pohon berisi dua batang. Dengan berbagai perlakuan dimungkinkan setiap pohon terdapat 2-3 batang. Ini merupakan salah satu cara untuk meningkatkan produktivitas tegakan pada hutan tanaman.
Jenis pohon pulai (Alstonia scholaris dan A.angustiloba ) merupakan salah satu jenis pohon asli Indonesia yang secara alami tersebar di Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi , Bali, Nusa Tenggara, Maluku dan Irian. Nama yang digunakan untuk jenis ini antara lain pulai, gabusan, lame, pule, pale, (Jawa) goti, pelanik, pelawi, pulai, tuturan (Sumatera), kasidula, lingaru, loi, mantoti, talanggilala, tongkoya, rita (Sulawesi), angar, bintang, hange, leleko, puli (Maluku), bengus, jagera, setaka, susuh (Papua). Tumbuh pada ketinggian 1-1.230 m dpl, pada jenis tanah liat yang kering dan tanah berpasir dan pada lereng bukit berbatu dengan curah hujan tipe A dan C. Pohon pulai dapat mencapai tinggi 40 m dengan batang bebas cabang 25 m dan diameter 150 cm.
Pemanfaatan kayu pulai yang ringan dengan berat jenis 0,27-0,49 dan kelas kuat IV-V, kelas awet V (mudah diserang mikroorganisme dan serangga antara lain jamur biru dan bubuk kayu kering) diantaranya untuk kerajinan, ukiran kayu, wayang golek, hak sepatu, cetakan beton, topeng, pulp dan pensil slate. Kayu pulai mudah digergaji, diserut dan dibor baik dalam keadaan kering maupun segar, mudah dikeringkan dan diawetkan.
Hutan alam pulai saat ini sudah semakin menipis dan di beberapa tempat sudah sulit mendapatkan kayu pulai. Hutan tanaman pulai antara lain terdapat di Sumatera Selatan dengan pola hutan rakyat. Jarak tanam yang digunakan 2x3 m. Diharapkan masyarakat dapat menanam jenis pulai ini karena teknik budi dayanya telah diketahui.

Berbagai macam ukiran hewan yang dibuat dari kayu pulai
(lame) di Tangkuban Perahu. Harga ukiran Rp.20.000 sampai
Rp.100.000 tergantung besarnya ukiran.

Email: riskan51@yahoo.co.id

Selasa, 07 Juli 2009

Luas Kawasan Hutan Indonesia

1. Berdasarkan Penunjukkan kawasan hutan dan perairan 30 Provinsi & Paduserasi TGHK RTRWP luas = 126.976.577,28 Ha.
2. Penunjukkan kawasan hutan dan perairan 30 Provinsi & TGHK 3 Provinsi seluas 137.090.469,28 Ha.
3. Paduserasi TGHK dan RTRWP seluas 120,35 juta ha
Sumber: Eksekutif Data Strategis Kehutanan (2005 & 2006)

Taman Hutan Raya R. SOERJO, Taman Hutan Raya Model Indonesia

Oleh: Drs Triyono Prihatyanto*)

INDONESIA dikenal sebagai negara megabiodiversity karena memiliki keanekaragaman hayati yang sangat tinggi baik ekosistem keanekaragaman jenis, plasma nutfah (sumberdaya genetik) maupun tingkat keunikan (endemisme.Kekayaan alam tersebut tersebar di berbagai wilayah baik dalam taman nasional, maupun dalam kawasan konservasi lainnya, dan salah satunya adalah taman hutan raya (Tahura) R. Soerjo.
Tahura R. Soerjo adalah salah satu kawasan pelestarian alam dan konservasi keanekaragaman hayati yang pada tahun 2001 oleh Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam ditetapkan sebagai ”Tahura Model Indonesia ”.
Tahura R. Soerjo berada di antara empat kabupaten (Malang, Pasuruan, Mojokerto dan Jombang) dan terletak tepat di tengah-tengah Provinsi Jawa Timur, melalui Kota Malang ke arah Batu hingga Cangar yang berjarak 38 km melalui jalan berliku dan berbukit Kota Malang dapat dinikmati dari daerah ini. Sedangkan dari Mojokerto melalui Pacet ke Cangar berjarak 30 km. Melalui Pandaan ke Tulungnongko yang berjarak 22 km, atau jika ingin mengunjungi lokasi wisata spiritual yang ada di Tahura ini dapat ditempuh dari Pandaan-Purwosari-Tambakwatu yang berjarak 16 km, dilanjutkan berjalan kaki sepanjang 22 km ke Pertapaan Abiyoso. Selain jalur tersebut, kawasan ini dapat ditempuh melalui Surabaya-Pandaan-Prigen dan Tretes dengan jarak 74 km. Sedangkan melalui Mojokerto-Pacet-Trawas-Prigen-Tretes berjarak 47 km.

Dasar Pengelolaan
Dasar pengelolaan Tahura R. Soerjo adalah sebagai berikut :
A. Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 29 Tahun 1992 tentang Pembangunan Kelompok Hutan Arjuno Lalijiwo sebagai Taman Hutan Raya.
b. Keputusan Menteri Kehutanan No. 80/Kpts/ii/2001, tanggal 5 Maret 2001 tentang Penetapan Kelompok Hutan Arjuno Lalijiwo seluas 27.868,30 ha sebagai Kawasan Hutan Raya dengan nama Taman Hutan Raya R Soerjo.
c. Peraturan Daerah Jawa Timur No. 8 Tahun 2002 tentang Pengelolaan Taman Hutan Raya Soerjo.

Potensi Kawasan
Dengan kawasan seluas 27.969,30 ha Tahura R. Soerjo merupakan salah satu tahura terluas di Indonesia. Memiliki berbagai potensi baik keindahan alam, jenis satwa dan tumbuhan hingga sumber air dan sejarah peninggalan zaman kerajaan masa lalu, potensi-potensi tersebut antara lain :
1. Pemandangan Alam
Alam pegunungan dengan berbagai hamparan dari hutan hingga perkebunan dan pertanian, merupakan keindahan tersendiri bagi pengunjung. Hawa dingin dan sejuk menambah suasana alami yang akrab jauh dari kebisingan kota yang menjenuhkan. Pengunjung dapat menikmati keindahan kawasan Tahura yang sebagian besar kawasan masih tampak asli. Alam pegunungan sangat terasa manakala melewati Gunung Welirang dan Gunung Arjuno, memiliki padang savana Lalijiwo yang terhampar hijau bagai permadani alam nan indah, juga terdapat Pondok Welirang yang dapat dimanfaatkan oleh pengunjung sebagai tempat istirahat setelah berjalan-jalan dan menikmati padang savana serta camping ground.
Selain keindahan alam obyek lain yang bisa ditemui adalah peninggalan sejarah masa lalu adalah Pertapaan Indrokilo dan Candi Sepilar dan Makutoromo, merupakan wisata budaya di Tahura R. Soerjo yang banyak diminati wisatawan yang menyenangi sejarah peninggalan nenek moyang di masa lalu.

2. Obyek Wisata Alam
Obyek Wisata yang dimiliki Tahura R. Soerjo ini sangat menarik karena unik, beragam jenisnya dan dapat memberikan rasa kesegaran dan kenyamanan, antara lain Lokasi Perkemahan di Pacet dan Cangar seluas 2 ha, terdapat pendopo yang biasa dipergunakan untuk latihan dalam pembinaan Pramuka dan Organisasi Pencinta Alam. Lima Kolam air panas terdapat di Cangar yang merupakan sumber air panas yang berasal dari Gunung Welirang. Air dengan uap belerang tersebut dipercaya oleh masyarakat dapat menyembuhkan berbagai penyakit kulit, serta dimanfaatkan sebagai terapi untuk menyehatkan tubuh, sehingga banyak wisatawan berkunjung ke daerah ini. Selain itu air panas tersebut disalurkan ke pondok dan Guest House di sekitarnya guna memberikan kenyamanan bagi pengunjung yang sedang menginap untuk merasakan kehangatan air belerang tahura. Goa Jepang terdapat di sekitar kolam tersebut. . Selain itu tersedia Aula tempat pertemuan yang dapat menampung sekitar 300 orang, serta tiga unit pondok wisata.
Obyek wisata alam lainnya yang tidak kalah indahnya adalah panorama puncak Gunung Welirang, dan kelompok hutan Arjuno Lalijiwo, di sini dapat dilihat pemandangan berupa benteng alam dari rangkaian pegunungan beserta lembahnya.
Di Tahura R. Soerjo terdapat 4 air terjun, yaitu Air Terjun Tretes di Kabupaten Jombang, Air Terjun Gumandar di Pasuruan, sedangkan dua lagi Air Terjun Puthuk Kursi dan Air Terjun Watu Ondo yang memiliki ketinggian sekitar 30 m itu terdapat di Kabupaten Mojokerto. Kedua air terjun tersebut kini banyak diminati wisatawan, di hari libur selalu penuh pengunjung, hal tersebut dikarenakan adanya kepercayaan air terjun dapat dimanfaatkan sebagai obat awet muda, dan dapat menghilangkan reumatik dan pegal-pegal.
3. Flora dan Fauna
Tahura R. Soerjo merupakan habitat salah satu satwa langka yang merupakan satwa nasional, yaitu Elang Jawa (Spizaetus bartelesi) serta burung lain yang juga dilindungi oleh undang-undang adalah Raja Udang Biru Jawa (Helvhyon cyanoventris), dan jenis Kutilang, Tekukur, Perkutut, Burung Madu, Kepodang, Burung Hantu, Ayam Hutan dan lain-lain. Sedangkan jenis kupu-kupu yang indah antara lain Kupu-kupu hijau (Omithoptera sp).
Jenis reptil yang ditemukan seperti Ular Sanca Kembang dan Sanca Merah, satwa lain adalah Kera Ekor Panjang, Kera Merah, Lutung, Biawak dan lain-lain. Beberapa tahun terakhir oleh petugas terlihat adanya Harimau Loreng, bahkan oleh pendaki telah ditemukan anak harimau. Sementara jejak Harimau Jawa juga ditemukan di tahura ini, dan saat ini sedang dalam penelitian dan pencarian tempat dimana harimau tersebut berada.
Kawasan tahura merupakan vegetasi jenis pohon Meranti yang sampai saat ini sedang dalam penelitian Litbang Kehutanan, Palm, Pinus dan beberapa pohon buah-buahan banyak dijumpai dalam kawasan ini. Beberapa jenis anggrek juga ditemukan, bahkan banyak ditemukan jenis tanaman hias dengan aneka warna bunga, dan salah satu jenis kini sedang banyak diburu para kolektor, dan tanaman tersebut sebagai bahan bonsai yang indah, dimana dalam pasaran dapat mencapai puluhan juta rupiah. Bunga abadi Edelweis juga terdapat di Tahura R. Soerjo ini, dan di bagian timur terdapat areal hutan bambu dengan bermacam jenis.
Disamping potensi-potensi tersebut, Tahura R. Soerjo memiliki 75 sumber air yang mengalir ke sungai Brantas, sedangkan salah satu pabrik pengolahan air mineral mengambil sumbernya yang berasal dari Gunung Arjuno dan Tahura R. Soerjo. Air tersebut juga banyak dimanfaatkan oleh masyarakat di 43 desa di sekitarnya, baik untuk kebutuhan sehari-hari maupun untuk dimanfaatkan dalam pembuatan kolam ikan dan pengairan di sawah serta ladang atau kebun milik petani.
Lahan di daerah penyangga pada umumnya subur, sehingga banyak dimanfaatkan sebagai lahan perkebunan dan pertanian, seperti perkebunan Apel Khas Malang di sekitar Batu, sayur-sayuran dan aneka tanaman hias serta bunga potong untuk berbagai keperluan dekorasi interior di berbagai kota. Semua itu secara tidak langsung dapat menopang kehidupan dan perekonomian masyarakat di sekitarnya.

Tahura Model Indonesia
Direktorat Jenderal Perlin-dungan Hutan dan Konservasi Alam (PHKA) Departemen Kehutanan, menetapkan Tahura R. Soejo sebagai contoh pengelolaan tahura yang baik, yaitu sebagai Tahura Model Indonesia.
Sebagai Tahura Model Indonesia, Tahura R. Soejo memang memiliki kedudukan yang strategis, sebagai benteng alam yang berada tepat di tengah-tengah Propinsi Jawa Timur. *) Penulis adalah Pranata Humas Madya, Pusat Informasi Kehutanan, Dep. Kehutanan.

Minggu, 05 Juli 2009

Uni Eropa dan AS pernah Merusak Hutan

Uni Eropa dan AS adalah dua negara yang pernah merusak hutan secara lebih gila dibanding Indonesia. Beberapa spesies flora dan fauna di Eropa dan AS sudah atau nyaris punah. Ketika mereka merusak hutan, belum ada pihak yang memperingatkan mereka. Berdasarkan pengalaman buruk tersebut, sekarang mereka menyadarkan negara lain agar lebih hati-hati dengan hutan. Uni eropa, AS, dan Jepang sudah pernah menikmati perusakan hutan, dan sekarang mereka menikmati energi yang mengotori udara dengan CO2.*sumber:business news;2 juli 2009.

Jumat, 03 Juli 2009

Cagar Biosfer, GIAM SIAK KECIL-BUKIT BATU


Giam Siak Kecil-Bukit Batu, Riau, ditetapkan sebagai Cagar Biosfer, melengkapi enam cagar biosfer Indonesia lainnya, yaitu cagar biosfer Gunung Leuser, Pulau Siberut, Cibodas, Tanjung Puting, Pulau Komodo, dan Lore Lindu.

Dengan ditetapkannya kawasan itu sebagai cagar biosfer, maka Giam Siak Kecil-Bukit Batu menjadi bagian World Network of Biosphere (WNBR) UNESCO yang terdiri dari 553 lokasi cagar biosfer di 107 negara pada 2009.

Inisiatif pembangunan cagar biosfer Giam Siak Kecil-Bukit Batu itu berawal pada 2004, melibatkan Sinar Mas Forestry yang mengalokasikan sebagian area hutan produksinya seluas 72.255 hektare untuk tujuan konservasi secara permanen. Kawasan itu diubah menjadi koridor ekologi yang menggabungkan dua suaka margasatwa, Giam Siak Kecil dan Bukit Batu. Luas suaka margasatwa Giam Siak Kecil mencapai 84.967 hektare dan Bukit Batu, yang mencapai 21.500 hektare.

Cagar biosfer Giam Siak Kecil-Bukit Batu dibagi menjadi tiga zonasi, yaitu zona inti (178.722 hektare), zona penyangga (222,425 hektare), dan zona transisi (304.123 hektare). Canecio Peralta Munoz, penasihat lingkungan dan stakeholder engagement Sinar Mas Forestry, mengatakan pihaknya tak akan mengutak-atik area hutan produksi yang telah diubah menjadi kawasan cagar biosfer, termasuk 35 persen area hutan mereka yang berada di zona inti.*Sumber:Tempo Interaktif.com

NYAMPLUNG (Calophyllum inophyllum)



Pengembangan pemanfaatan jenis Nyamplung (Calophyllum inophyllum) merupakan salah satu pendekatan pengelolaan hutan yang melibatkan masyarakat, karena tanaman ini memiliki manfaat ganda yaitu manfaat ekonomi dan manfaat ekologi. Manfaat ekonomis antara lain sebagai penghasil kayu untuk bahan konstruksi dan sebagai sumber bahan baku energi alternatif, mengingat biji tanaman ini memiliki kandungan minyak yang dapat digunakan sebagai bahan bakar nabati. Sedangkan manfaat ekologis dari
Nyamplung yaitu tanaman ini mempunyai fungsi perlindungan ekosistem daratan dan perairan seperti menahan abrasi gelombang laut, pengendali intrusi air laut, dan memelihara kualitas air terutama air payau. Disamping itu tanaman nyamplung juga mempunyai potensi yang menjanjikan sebagai bahan obat-obatan.

Nyamplung atau sebagian masyarakat menyebutnya dengan Bintangur, umumnya tumbuh pada hutan dataran rendah, bahkan ada pula jenis yang tumbuh dekat laut. Tanaman ini umumnya menyukai tanah pasir berlempung (sandy loam). Struktur pohon rindang dan berukuran besar, bercabang banyak dan tinggi pohon bisa mencapai lebih dari 20 meter, dengan diameter batang pohon hingga 100 Cm.



Nyamplung mulai berbuah pada umur 7 tahun, biasanya pada bulan Juli hingga Desember. Buahnya berbentuk bulat berwarna hijau hingga kekuningan dengan diameter 2,5 - 3 Cm, menggantung pada tangkai buah. Buahnya akan jatuh bila telah masak.

Penyebaran Nyamplung di Indonesia meliputi berbagai wilayah pesisir pantai pulau-pulau di Papua, Maluku, Kalimantan, Sulawesi, Jawa dan Sumatera. Tanaman ini dikenal dengan beberapa nama daerah seperti benaga, bintangur (Kalimantan), mentangur, penaga, punaga (Sumbar), dingkaren (Sulut), lingkaren, dunggala (Gorontalo), camplong (Timor), fitako (Ternate), hatau, hitaulo (Ambon).

Hasil Penelitian Minyak Nyamplung untuk Biodiesel.

1.Produksi biji kering per tahun sekitar 5-7 ton dengan jarak tanam 3 x 3,5 m2, setiap pohon menghasilkan 30-50 Kg biji (Friday dan Okano, 2005) dan kadar minyak berkisar antara 50-70%.

2. Proses yang sesuai untuk pengolahan minyak nyamplung menjadi biodiesel adalah proses EET yaitu esterifikasi-transesterifikasi. Dengan proses EET bilangan asam biodiesel dapat diturunkan dari 61,92 mg KOH/g menjadi 0,66 KOH/g. demikian pula kriteria lainnya seperti viskositas, densitas, angka setana, titik nyala, residu karbon, belerang, fosfor, gliserol total, sisa gliserol total dan kadar ester alkil semuanya memenuhi standar biodiesel SNI No. 04-7182-2006 dan ASTM D 6751.

3.Kelebihan lain biodiesel dari minyak nyamplung dibandingkan dengan minyak lainnya yaitu selain menghasilkan gliserin sebagai hasil sampingan (10%), juga menghasilkan stearin (coklat putih) sebesar 5%.


Proses Pembuatan Minyak Nyamplung.
Secara sederhana minyak nyamplung dapat diperoleh dengan cara memecah tempurung biji nyamplung yang telah tua dan diambil bagian dalamnya yang berwarna putih gading. Untuk mendapatkan hasil yang baik biji nyamplung sebaiknya direbus terlebih dahulu sebelum kemudian dijemur hingga kering dan selanjutnya diperas dengan alat pengepres hingga keluar minyaknya. Dari 2 Kg biji nyamplung dapat dihasilkan satu liter minyak nyamplung.

Teknik Budidaya

Tanaman Nyamplung dapat diperbanyak melalui cara generatif maupun vegetatif. Perbanyakan secara generatif dengan menggunakan biji yang sudah tua atau masak yang ditandai dengan biji yang sudah berwarna merah atau kuning, berbatok coklat dan sudah jatuh dari pohonnya. Sedangkan perbanyakan melalui cara vegetatif dilakukan dengan cara membuat stek cabang atau batang, dan dapat pula dilakukan dengan cara dicangkok.

Keuntungan lain dari pengembangan tanaman nyamplung sebagai bahan baku biodiesel di daerah pantai, selain menghasilkan biodiesel untuk para nelayan juga menghasilkan kayu yang keras dan tahan terhadap hempasan air laut. Hal ini menyebabkan para nelayan sejak lama telah menggunakan kayu tersebut sebagai bahan pembuat perahu dan dayung mereka.*Sumber:leaflet Nyamplung-Dephut(2007)

Rabu, 01 Juli 2009

CURIK BALI (Leucopsar rotchildi)


Oleh: Rudi Antoro
Curik Bali? Apa pula itu!! Mungkin banyak diantara kita tidak akrab dengan kata tersebut. Tapi pasti kita mengenal Jalak Bali. Ya, jalak bali adalah burung cantik berwarna putih dengan paduan warna biru di sekeliling mata dan ujung sayapnya. Burung yang nama ilmiahnya Leucopsar rotschildi ini banyak diminati kalangan penggemar burung karena kecantikan dan kelangkaannya. Bayangkan! di pasaran gelap burung ini bisa mencapai harga Rp 40 juta, sebuah angka yang fantastis untuk seekor burung.

Karena keberadaannya yang hampir punah itulah maka jenis burung ini dilindungi undang-undang. Populasi jalak bali di habitat alaminya, yaitu Taman Nasional Bali Barat, pernah mencapai jumlah terrendah pada 2005 yaitu hanya 5 ekor saja. Untuk itu Taman Nasional Bali Barat telah melepasliarkan 56 ekor tahun 2007 dan 34 ekor jalak bali hasil penangkaran/pengembangbiakan Mei 2009, untuk memulihkan populasi jalak bali di habitat alaminya. Kegiatan penangkaran terus dilakukan juga oleh masyarakat.
Semoga upaya ini berhasil….. mari lestarikan jalak bali.

MENHUT LEPASLIARKAN CURIK BALI KE HABITAT ALAMINYA


Menteri Kehutanan HMS Kaban didampingi Dirjen PHKA Darori, melepasliarkan 34 ekor curik bali hasil penangkaran, awal Mei silam. Pelepasliaran burung yang menjadi ikon pulau dewata ini, merupakan upaya untuk mencegah kepunahan satwa endemik Bali ini. Pelepasliaran dilakukan di dua lokasi yaitu Teluk Brumbun dan Kotal/Shorea, yang masih berada di dalam kawasan Taman Nasional Bali Barat.

Di habitat alaminya, curik bali mengalami ancaman kepunahan, populasinya terus menurun dari tahun ke tahun. Curik bali yang dikenal juga dengan nama jalak bali (Leucopsar rotschildi) yang dilepasliarkan ini merupakan burung hasil penangkaran di Taman Safari Indonesia, Yokohama Research Center Jepang dan penangkaran di TN Bali Barat.

Pada kesempatan itu Menhut mengatakan bahwa pelepasliaran curik bali hasil penangkaran ini merupakan wujud dari rasa tanggung jawab semua komponen. Namun upaya ini belum cukup, harus diperhatikan juga bagaimana agar kita bisa mengawasi dan menjaganya. Sehingga upaya penangkaran dan pelepasliaran yang telah dilakukan tidak sia-sia. Diingatkan Menhut bahwa kita juga harus dapat mengukur sampai sejauh mana upaya pelepasliaran ini bisa dikatakan berhasil. Artinya pada tingkat populasi berapa ancaman kepunahan curik bali ini dapat diatasi.

Pada kesempatan itu pula, kepada para pengelola kawasan wisata, MS Kaban meminta agar upaya pelestarian curik bali juga bisa dikemas menjadi sesuatu yang menarik bagi wisatawan, tanpa mengganggu keberadaan burung cantik ini dihabitatnya. Di sisi lain, masyarakat sekitar pun perlu dididik bagaimana melakukan upaya konservasi melalui penangkaran dan perizinannya.

Di akhir sambutannya Menhut berharap kepada para penangkar dan Asosiasi Pelestari Curik Bali (APCB), agar apa yang telah dilakukan selama ini dalam upaya melakukan konservasi bisa diketahui oleh dunia luar, sehingga dunia akan melihat kita sebagai masyarakat yang dapat melindungi dan menjaga kepunahan satwa langka.

Lebih jauh, upaya penangkaran dan pelepasliaran ini dimaksudkan pula untuk menekan harga curik bali di pasaran gelap. Menurut seorang peneliti dari Pusat Penelitian Biologi LIPI, Mas Noerdjito yang turut merancang penangkaran dan pelepasliaran curik bali ketika ditemui MKI di lokasi pelepasliaran di Brumbun, mengatakan bahwa di pasaran ilegal curik bali pernah mencapai harga Rp 40 juta per ekor. Diharapkan dengan adanya curik bali hasil penangkaran, masyarakat tidak mencari lagi di pasar gelap, karena curik bali hasil penangkaran dapat diperoleh dengan harga Rp 7,5 juta per ekor di pasaran resmi dan bersertifikat.

Sementara itu ketua APCB, Tonny Sumampaw, mengatakan bahwa saat ini terdapat sekitar 200 ekor curik bali yang ditangkarkan oleh aktivis pelestari satwa langka. Namun demikian APCB akan terus memperbanyak populasi curik bali melalui penangkaran dan pelatihan kepada masyarakat di sekitar kawasan hutan habitat curik bali. Masyarakat akan dilatih bagaimanan tata cara menangkar dan mengurus perizinannya.

Curik bali merupakan jenis endemik Pulau Bali dengan daerah sebaran dan populasi yang terus menyusut. Secara alami jenis ini hanya dapat dijumpai di Taman Nasional Bali Barat dan Pulau Nusa Penida.

Populasi curik bali du habitat alaminya mencapai jumlah terendah pada tahun 2005. Ketika itu populasinya hanya 5 ekor. Hal ini disebabkan karena berbagai faktor diantaranya degradasi habitat, menyempitnya keragaman genetik dan gangguan beberapa jenis predator. Di samping itu, faktor yang paling dominan mempengaruhi populasi curik bali adalah perburuan dan perdagangan ilegal.

Kondisi ini menimbulkan keprihatinan berbagai pihak. Oleh karena itu Departemen Kehutanan bekerjasama dengan APCB telah melakukan berbagai upaya untuk memulihkan populasi curik bali di habitat alaminya, antara lain dengan meningkatkan peran masyarakat dalam konservasi curik bali melalui upaya penangkaran. Hasil penangkaran, selain digunakan untuk membanjiri pasaran dengan tujuan menjatuhkan harga pasar curik bali, juga untuk dilepasliarkan kembali demi kepentingan pemulihan populasi di habitat alaminya.

Pelepasliaran yang dilakukan kali ini bukan untuk pertama kalinya, pada Desember 2007 Menteri Kehutanan telah melepasliarkan sebanyak 56 ekor curik bali di Teluk Brumbun dan Menjangan resort. Berdasarkan hasil pemantauan, burung yang dilepasliarkan ketika itu telah berkembang biak sebanyak 9 ekor. Namun 4 ekor mati karena dimangsa predator, sedangkan sisanya kembali bebas di habitat alaminya.

Lokasi pelepasliaran di Kotal yang dilakukan kali ini letaknya berada di antara Teluk Brumbun dan Menjangan Resort. Kawasan ini mempunyai persediaan air yang cukup untuk mendukung kehidupan curik bali. Diharapkan burung yang dilepas di lokasi ini dapat berinteraksi dengan rekan-rekan mereka yang telah dilepas terlebih dahulu, sehingga secara genetik akan terjadi rangkaian populasi baru dari Teluk Brumbun hingga Menjangan Resort. (rd)

UPAYA PENYELAMATAN CURIK BALI DI TN BALI BARAT





Jalak Bali atau dikenal juga dengan sebutan Curik Bali (Leucopsar rotschildi) merupakan satwa endemik pulau bali yang dilindungi undang-undang karena populasinya sangat langka. Karena kelangkaannya itulah maka harga di pasaran satwa ilegal sangat tinggi, sehingga memacu para pemburu liar berusaha menangkap burung cantik ini dari habitatnya. Untuk itu, Balai Taman Nasional Bali Barat melakukan berbagi upaya untuk menyelamatkan populasi dan mengamankan habitat Jalak Bali.

Berbagai upaya telah dilakukan agar Jalak Bali dapat survive di habitat alaminya yang merupakan satu-satunya di dunia yakni kawasan di TN Bali Barat. Upaya yang telah dilakukan di antaranya adalah melakukan pengamanan kawasan. Pengamanan dilakukan dengan cara melakukan patroli secara rutin yang dilakukan setiap hari oleh Polhut BTNBB. Di samping itu juga dilakukan patroli gabungan yang dilaksanakan sewaktu-waktu dengan melibatkan instansi lain yang terkait seperti Polisi Air, TNI-AL, KP3 Brimob yang berada di lingkungan Gulimanuk.

Upaya lain yang dilakukan adalah monitoring terhadap keberadaan Jalak Bali. Keberadaan Jalak Bali di habitat alaminya maupun di penangkaran selalu dimonitor oleh petuga PEH secara rutin setiap harinya. Kegiatan yang dilakukan adalah: ruang edar/home range, daya dukung habitat, penyesuaian pasca pelepasliaran, serta melakukan evaluasi perkembangan populasi Jalak Bali dengan maksud untuk mengetahui apakah jumlahnya bertambah atau mengalami penurunan.

Untuk menambah populasi di habitat alaminya, dilakukan upaya pelepasliaran Jalak Bali yang berasal dari hasil penangkaran. Jalak Bali yang akan dilepasliarkan harus dari pasangan yang produktif dan telah dilatih untuk beradaptasi dengan lingkungan barunya.

Agar Jalak Bali dapat bertahan di habitatnya, BTNBB telah melakukan pembinaan habitat. Upaya ini juga dimaksudkan untuk meningkatkan kualitas habitat sehingga dengan kondisi habitat yang baik diharapkan Jalak Bali bisa bereproduksi. Tindakan yang dilakukan dengan cara mengendalikan semak belukar yang bila dibiarkan akan mengancam hamparan savana. Kondisi hamparan savana harus tetap terbuka karena savana tersebut merupakan habitat serangga yang merupakan makanan Jalak Bali. Apabila kondisi savana baik, maka sersnggs dapat hidup semakin baik dengan jumlah yang semakin banyak

Berbagai cara lain juga dilakukan dalam rangka pembinaan habitat Jalak Bali. BTNBB melakukan penanaman jenis tanaman yang menjadi sumber pakan Jalak Bali seperti jenis intaran, pilang dan dadap. Juga dilakukan pembuatan sarang atau gowok (nest box), dengan tujuan untukmempermudah Jalak Bali berlindung dan bersarang, serta meletakkan telur-telur hingga menetas.

Dari pemantauan dan evaluasi yang dilakukan oleh para petugas TNBB, gowok-gowok buatan yang telah disediakan telah terisi oleh Jalak Bali yang telah dilepasliarkan. Gowok ini sengaja disiapkan untuk membantu proses perkembangbiakan. Hal ini dikarenakan Jalak Bali tidak dapat membuat sarang sendiri, bahkan di alam burung ini sangat mengharapkan bantuan dari jenis burung pelatuk serta lubang-lubang pohon baik pohon mati atau pohon yang tumbang.

Aktifitas perkembangbiakan Jalak Bali yang menggembirakan ini juga menjadi daya tarik wisata alam yang sangat potensial di Teluk Brumbun. Para turis sengaja datang ke Teluk Brumbun untuk mengamati aktivitas Jalak Bali. Biasanya mereka datang pagi mulai pukul 06.00 hingga 07.00. Para turis tersebut menyatakan kepuasannya dapat melihat aktivitas burung cantik Jalak Bali di habitat alaminya.

Selain penangkaran yang dilakukan di dalam kawasan TNBB, juga dilakukan upaya penangkaran eksitu. Kegiatan ini dikaitkan juga dengan upaya pemberdayaan ekonomi masyarakat sekitar kawasan hutan. Masyarakat juga dilibatkan dalam upaya penyelamatan Jalak Bali dengan cara memberi kesempatan melakukan penangkaran yang dikoordinasikan dengan Asosiasi Pelestari Curik Bali (APCB). (rd- sumber: TN Bali Barat)