Rabu, 27 Mei 2009

Panen Gaharu di Sukabumi

Oleh: Undang Darmatin

Pada pertemuan di Argentina bulan Maret yang lalu CITES berencana melarang perdagangan gaharu Indonesia, padahal Pusat Penelitian Hutan dan Konservasi Alam telah menghasilkan teknologi yang memungkinkan untuk memproduksi gaharu dari tanaman budidaya secara cepat dengan tingkat keberhasilan yang tinggi. Pada 04 April 2009 lalu penulis berkesempatan menyaksikan panen Gaharu hasil penelitian di daerah Sagaranten Sukabumi, Jawa Barat. Hasil panen menunjukkan bahwa tanaman gaharu yang diinokulasi 2 tahun yang lalu mampu menghasilkan gaharu yang berwarna tua, Warna coklat tua ini merupakan indikasi kualitas yang lebih baik. Pohon-pohon yang diinokulasi ini merupakan hasil tanaman tahun 2000 dengan jenis Aquilaria cressna dan Aquilaria malaccencis dan diinokulasi pada umur 6 tahun.

Menurut Dr. Erdy Santoso ahli peneliti gaharu dari Pusat Litbang Hutan & Konservasi Alam, rentang waktu inokulasi berkorelasi dengan kualitas gaharu yang dihasilkan. Tanaman penghasil gaharu yang tidak menghasilkan gaharu kayunya berwarna putih, setetah diinokulasi selama 3 bulan mulai menunjukkan proses terbentuknya gaharu yang diindikasikan berubahnya warna menjadi kecoklatan. Ada kecenderungan semakin lama rentang inokulasi maka warnanya akan semakin gelap dan mengindikasikan kualitas yang meningkat pula.

Produksi GAHARU dapat dipenuhi dari Hutan Tanaman


Di lokasi ini telah diujicobakan empat jenis isolat pembentuk gaharu yaitu isolat JERMIA 1-4 yang diperoleh dari berbagai daerah di Indonesia, hasil inokulasi di Sukabumi mengindikasikan bahwa Jermia 2 dan Jermia 4 memberikan respon yang lebih produktif. Hasil Inokulasi di Bangka laku di pasaran Timur Tengah seharga 800 -1000 real per kilogram atau sekitar 2,5 juta rupiah per kilogram. Pada umumnya inokulasi selama satu tahun menghasilkan produk gaharu minimal dua kilogram per pohon.
Menurut Kepala Pusat Litbang Hutan dan Konservasi Alam, Adi Susmianto bahwa pada pertemuan Komisi Tumbuhan CITES tanggal 17 s/d 22 Maret 2009 di Argentina ada upaya-upaya beberapa pihak untuk memberi sanksi kepada Indonesia berupa larangan memperdagangkan gaharu. Berdasarkan pengalaman Puslitbang Hutan & Konservasi Alam dalam membudidayakan tanaman gaharu tidak sulit. Dalam lima tahun terakhir di Carita (Jawa Barat) telah dibudidayakan gaharu seluas 42 hektar, di Cikampek (Jawa Barat) seluas 2 hektar, dan di Riau seluas 12 hektar, Selain itu di beberapa binaan Puslitbang Hutan dan Konservasi Alam dl Kalimantan Barat telah ditanam sebanyak 143.000 pohon. Di Kalsel sebanyak 20.000 pohon, di Jambi sebanyak 60.000 pohon, serta di Kaltim sebanyak 200.000 pohon.
Saat ini teknik inokulasi pembentukan gaharu telah dikuasai Puslitbang Hutan & Konservasi Alam. Selain itu, Puslitbang Hutan & Konservasi Alam telah mengoleksi 23 isolat yang berasal dari 17 Propinsi di Indonesia.

Dengan demikian larangan memperdagangkan gaharu pada pertemuan CITES di Argentina pada Bulan Maret yang lalu tidak beralasan, karena ke depan gaharu Indonesia yang dipasarkan tentunya berasal dari hasil budidaya, bukan berasal dari hutan alam.*

1 komentar:

  1. sudah saatnya pohon gaharu dalam apendiks CITES di cabut.. karena sudah ratusan ribu pohon gaharu yang di tanam di seluruh indonesia...dan mungkin sudah mendekati jutaan pohon...

    BalasHapus