Bandung, kota yang banyak menawarkan beragam tujuan wisata,, tidak hanya wisata belanja atau wisata kuliner yang sekarang menjamur. Bandung juga menawarkan wisata alam yang menarik untuk dijelajahi. Salah satunya adalah Tahura Djuanda, sebuah kawasan konservasi yang juga merupakan kawasan wisata alam yang tidak boleh dilewatkan bila berkunjung ke kota yang pernah dijuluki kota kembang ini.
Hawa sejuk segera terasa begitu menginjakkan kaki di Taman Hutan Raya Ir. H. Djuanda yang terletak di Utara kota Bandung. Kawasan konservasi ini mudah dijangkau karena terletak tidak jauh dari Ibukota Jawa Barat. Hanya dengan waktu tempuh sekitar 20 menit dari Gedung Sate, yang merupakan ”landmark” sekaligus kantor pusat pemerintahan Provinsi Jawa Barat, kita bisa memperoleh kesegaran alam yang sulit didapatkan di perkotaan. Kesejukan dan kesegaran yang ada tidak terlepas dari kondisi tahura yang relatif lebih baik jika dibandingkan dengan beberapa tahura yang ada. Sehingga tidak heran tempat ini sering dijadikan tempat rekreasi dan berolahraga bagi warga sekitar Kota Bandung.
Tahura ini memiliki aksesibilitas cukup tinggi. Semua jenis kendaraan bisa mencapai pintu gerbang utama dengan mudah, karena jalan sudah beraspal dengan kondisi baik. Selain melalui pintu utama di Pakar Dago, ada beberapa pintu masuk yang dapat ditempuh, yaitu melalui Kolam Pakar PLTA Bengkok dan melalui pintu masuk Maribaya di Lembang.
Tahura ini merupakan tahura pertama di Indonesia dan menjadi benteng terakhir satu-satunya kawasan konservasi terdekat di kota Bandung. Kawasan ini mempunyai fungsi penyediaan air bersih, udara bersih dan paru-paru kota yang harus dilestarikan. Jika tidak dilestarikan, akan mengancam keberadaan kota yang dijuluki Paris Van Java ini.
Berbagai obyek daya tarik wisata yang dapat dikunjungi di Tahura Djuanda antara lain berupa Plaza Monumen Ir. H. Djuanda dilengkapi dengan museum yang dibangun untuk menghormati perjuangan Ir. H. Djuanda, tokoh pahlawan nasional yang berasal dari Jawa Barat. Tahura ini juga menyediakan taman bermain untuk anak-anak dengan berbagai fasilitas permainan di antara pepohonan hutan. Selain itu pengelola juga membangun panggung terbuka untuk menampung kegiatan masyarakat dalam bentuk kegiatan pertunjukan dan atraksi dengan kapasitas 200 orang.
Obyek daya tarik lainnya adalah Curug Dago, berupa air terjun setinggi 15 meter pada aliran sungai Cikapundung dengan pamandangan alam dan ekosistem hutan yang sejuk dan dapat dijadikan tempat istirahat di bawah pepohonan. Air terjun lainnya yang menambah keindahan kawasan ini yaitu Curug Omas. Air terjun yang mempunyai ketinggian 30 meter ini terletak berdekatan dengan obyek wisata air panas Maribaya. Masih di aliran Sungai Cikapundung, di antara kedua curug tersebut terdapat Curug Lalay. Obyek ini berupa goa dengan bebatuan yang terjal yang ditempati burung dan kelelawar yang di tengahnya mengalir Sungai Cikapundung. Sedangkan bagi pengunjung yang menyukai tracking, pengelola menyediakan jogging track berupa jalan setapak menyusuri tepi sungai yang berhutan antara Pakar – Maribaya sejauh 5 km. Melalui track berbukit dengan paving blok ini kita dapat menikmati panorama Tahura dan pemandangan kota Bandung.
Di samping obyek alam tersebut, tempat ini juga menyimpan peninggalan sejarah masa lalu berupa Prasasti Thailand peninggalan Raja Thailand Chulalongkorn II yang pernah mengunjungi lokasi tersebut Tahun 1896. Prasasti ini terawat dengan baik karena pemeliharaannya mendapat bantuan dari Pemerintah Thailand.
Sampai di sini, pengunjung belum lengkap jika belum mengunjungi Goa Belanda. Yaitu goa peninggalan Belanda yang dibangun tahun 1941 oleh Belanda untuk terowongan PLTA Bengkok. Kemudian pada saat perang goa ini dijadikan sebagai pusat stasiun radio telekomunikasi militer Hindia Belanda. Goa lainnya yang terdapat dikawasan ini adalah Goa Jepang yang dibangun tentara Jepang tahun 1942 untuk kepentingan pertahanan, setelah sebelumnya Hindia Belanda menyerah kepada Tentara Jepang. Pembangunan goa ini dilakukan oleh tanaga kerja pribumi dengan cara kerja paksa yang dikenal dengan romusha.
Tahura Ir. H. Djuanda merupakan taman hutan raya pertama di Indonesia yang diresmikan 14 Januari 1985 oleh Presiden Soeharto bertepatan dengan tanggal kelahiran Ir. H. Djuanda. Awalnya dikenal sebagai kawasan Hutan Lindung Gunung Pulosari dan Taman wisata Alam Curug Dago. Kawasan hutan lindung ini dirintis pembangunannya sejak tahun 1960 oleh Gubernur Jawa Barat ketika itu, Mashudi, ADM Bandung Utara Sambas Wirakusumah dengan dukungan Ismail Saleh (Menteri Kehakiman) dan Soedjarwo (Menhut)
Pengelolaan Tahura Djuanda sejak tahun 2003 diserahkan kepada Pemprov Jabar c.q. Dinas Kehutanan Jabar melalui UPTD Balai Pengelolaan Taman Hutan Raya berdasarkan SK Menhut No. 107/kpts-II/2003 tanggal 24 Maret 2003. Luas Tahura Djuanda berdasarkan rekonstruksi tata batas tahura tahun 2003 adalah 527,03 Hektar.
Apresiasi masyarakat terhadap keberadaan Tahura Djuanda terus meningkat. Hal ini diindikasikan dengan tingkat kunjungan wisatawan baik domestik maupun mancanegara dari tahun ke tahun yang terus meningkat. Data yang diperoleh memperlihatkan tahun 2003 jumlah pengunjung sebanyak 18.020 orang dan tahun 2005 meningkat menjadi 66.388 orang, sedangkan data tahun 2007 menunjukkan angka 94.723 orang. Sementara itu target pemasukan dana dari kunjungan tahun 2008 sebesar Rp 300 juta.
Tidak sedikit masyarakat Bandung yang berada pada level menengah ke atas memanfaatkan tempat ini sebagai tempat berolahraga. Kegiatan ini sudah menjadi lifestyle sebagian masyarakat Bandung yang sejak pagi hari melakukan aktivitas kebugaran jasmani di Tahura yang dikalangan masyarakat Bandung masih dikenal dengan sebutan Dago Pakar. Memanfaatkan semua fasilitas yang ada tidak memerlukan biaya mahal. Hanya dengan merogoh kocek Rp 3000 per orang masyarakat mendapatkan fasilitas yang nilainya jauh lebih tinggi dari yang mereka bayar. Masyarakat sudah membutuhkan dan menyadari fungsi kawasan konservasi yang diresmikan tahun 1985 ini. Kondisi ini merupakan harapan yang baik dan memberikan semangat tersendiri bagi pengelolan Tahura Djuanda.
Meski pengelolaan Tahura Djuanda sudah dianggap baik, namun tidak terlepas dari berbagai kendala dan tantangan. Tantangan utama pengelolaan Tahura Djuanda adalah lokasi kawasan yang berbatasan langsung dengan penduduk. Untuk itu dalam mengamankan kawasan tahura, pengelola melakukan koordinasi dengan pihak Kecamatan, Aparat Desa, Kepolisian sektor setempat, Koramil, LSM dan komponen masyarakat lainnya.(rd-ud)
Hawa sejuk segera terasa begitu menginjakkan kaki di Taman Hutan Raya Ir. H. Djuanda yang terletak di Utara kota Bandung. Kawasan konservasi ini mudah dijangkau karena terletak tidak jauh dari Ibukota Jawa Barat. Hanya dengan waktu tempuh sekitar 20 menit dari Gedung Sate, yang merupakan ”landmark” sekaligus kantor pusat pemerintahan Provinsi Jawa Barat, kita bisa memperoleh kesegaran alam yang sulit didapatkan di perkotaan. Kesejukan dan kesegaran yang ada tidak terlepas dari kondisi tahura yang relatif lebih baik jika dibandingkan dengan beberapa tahura yang ada. Sehingga tidak heran tempat ini sering dijadikan tempat rekreasi dan berolahraga bagi warga sekitar Kota Bandung.
Tahura ini memiliki aksesibilitas cukup tinggi. Semua jenis kendaraan bisa mencapai pintu gerbang utama dengan mudah, karena jalan sudah beraspal dengan kondisi baik. Selain melalui pintu utama di Pakar Dago, ada beberapa pintu masuk yang dapat ditempuh, yaitu melalui Kolam Pakar PLTA Bengkok dan melalui pintu masuk Maribaya di Lembang.
Tahura ini merupakan tahura pertama di Indonesia dan menjadi benteng terakhir satu-satunya kawasan konservasi terdekat di kota Bandung. Kawasan ini mempunyai fungsi penyediaan air bersih, udara bersih dan paru-paru kota yang harus dilestarikan. Jika tidak dilestarikan, akan mengancam keberadaan kota yang dijuluki Paris Van Java ini.
Berbagai obyek daya tarik wisata yang dapat dikunjungi di Tahura Djuanda antara lain berupa Plaza Monumen Ir. H. Djuanda dilengkapi dengan museum yang dibangun untuk menghormati perjuangan Ir. H. Djuanda, tokoh pahlawan nasional yang berasal dari Jawa Barat. Tahura ini juga menyediakan taman bermain untuk anak-anak dengan berbagai fasilitas permainan di antara pepohonan hutan. Selain itu pengelola juga membangun panggung terbuka untuk menampung kegiatan masyarakat dalam bentuk kegiatan pertunjukan dan atraksi dengan kapasitas 200 orang.
Obyek daya tarik lainnya adalah Curug Dago, berupa air terjun setinggi 15 meter pada aliran sungai Cikapundung dengan pamandangan alam dan ekosistem hutan yang sejuk dan dapat dijadikan tempat istirahat di bawah pepohonan. Air terjun lainnya yang menambah keindahan kawasan ini yaitu Curug Omas. Air terjun yang mempunyai ketinggian 30 meter ini terletak berdekatan dengan obyek wisata air panas Maribaya. Masih di aliran Sungai Cikapundung, di antara kedua curug tersebut terdapat Curug Lalay. Obyek ini berupa goa dengan bebatuan yang terjal yang ditempati burung dan kelelawar yang di tengahnya mengalir Sungai Cikapundung. Sedangkan bagi pengunjung yang menyukai tracking, pengelola menyediakan jogging track berupa jalan setapak menyusuri tepi sungai yang berhutan antara Pakar – Maribaya sejauh 5 km. Melalui track berbukit dengan paving blok ini kita dapat menikmati panorama Tahura dan pemandangan kota Bandung.
Di samping obyek alam tersebut, tempat ini juga menyimpan peninggalan sejarah masa lalu berupa Prasasti Thailand peninggalan Raja Thailand Chulalongkorn II yang pernah mengunjungi lokasi tersebut Tahun 1896. Prasasti ini terawat dengan baik karena pemeliharaannya mendapat bantuan dari Pemerintah Thailand.
Sampai di sini, pengunjung belum lengkap jika belum mengunjungi Goa Belanda. Yaitu goa peninggalan Belanda yang dibangun tahun 1941 oleh Belanda untuk terowongan PLTA Bengkok. Kemudian pada saat perang goa ini dijadikan sebagai pusat stasiun radio telekomunikasi militer Hindia Belanda. Goa lainnya yang terdapat dikawasan ini adalah Goa Jepang yang dibangun tentara Jepang tahun 1942 untuk kepentingan pertahanan, setelah sebelumnya Hindia Belanda menyerah kepada Tentara Jepang. Pembangunan goa ini dilakukan oleh tanaga kerja pribumi dengan cara kerja paksa yang dikenal dengan romusha.
Tahura Ir. H. Djuanda merupakan taman hutan raya pertama di Indonesia yang diresmikan 14 Januari 1985 oleh Presiden Soeharto bertepatan dengan tanggal kelahiran Ir. H. Djuanda. Awalnya dikenal sebagai kawasan Hutan Lindung Gunung Pulosari dan Taman wisata Alam Curug Dago. Kawasan hutan lindung ini dirintis pembangunannya sejak tahun 1960 oleh Gubernur Jawa Barat ketika itu, Mashudi, ADM Bandung Utara Sambas Wirakusumah dengan dukungan Ismail Saleh (Menteri Kehakiman) dan Soedjarwo (Menhut)
Pengelolaan Tahura Djuanda sejak tahun 2003 diserahkan kepada Pemprov Jabar c.q. Dinas Kehutanan Jabar melalui UPTD Balai Pengelolaan Taman Hutan Raya berdasarkan SK Menhut No. 107/kpts-II/2003 tanggal 24 Maret 2003. Luas Tahura Djuanda berdasarkan rekonstruksi tata batas tahura tahun 2003 adalah 527,03 Hektar.
Apresiasi masyarakat terhadap keberadaan Tahura Djuanda terus meningkat. Hal ini diindikasikan dengan tingkat kunjungan wisatawan baik domestik maupun mancanegara dari tahun ke tahun yang terus meningkat. Data yang diperoleh memperlihatkan tahun 2003 jumlah pengunjung sebanyak 18.020 orang dan tahun 2005 meningkat menjadi 66.388 orang, sedangkan data tahun 2007 menunjukkan angka 94.723 orang. Sementara itu target pemasukan dana dari kunjungan tahun 2008 sebesar Rp 300 juta.
Tidak sedikit masyarakat Bandung yang berada pada level menengah ke atas memanfaatkan tempat ini sebagai tempat berolahraga. Kegiatan ini sudah menjadi lifestyle sebagian masyarakat Bandung yang sejak pagi hari melakukan aktivitas kebugaran jasmani di Tahura yang dikalangan masyarakat Bandung masih dikenal dengan sebutan Dago Pakar. Memanfaatkan semua fasilitas yang ada tidak memerlukan biaya mahal. Hanya dengan merogoh kocek Rp 3000 per orang masyarakat mendapatkan fasilitas yang nilainya jauh lebih tinggi dari yang mereka bayar. Masyarakat sudah membutuhkan dan menyadari fungsi kawasan konservasi yang diresmikan tahun 1985 ini. Kondisi ini merupakan harapan yang baik dan memberikan semangat tersendiri bagi pengelolan Tahura Djuanda.
Meski pengelolaan Tahura Djuanda sudah dianggap baik, namun tidak terlepas dari berbagai kendala dan tantangan. Tantangan utama pengelolaan Tahura Djuanda adalah lokasi kawasan yang berbatasan langsung dengan penduduk. Untuk itu dalam mengamankan kawasan tahura, pengelola melakukan koordinasi dengan pihak Kecamatan, Aparat Desa, Kepolisian sektor setempat, Koramil, LSM dan komponen masyarakat lainnya.(rd-ud)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar