Minggu, 31 Mei 2009

PEMANENAN LEBAH HUTAN (Apis dorsata binghami)


Oleh: Rini Purwanti*)

Pendahuluan

Apis dorsata yang biasa disebut lebah hutan sampai saat ini diketahui mempunyai tiga sub spesies yakni Apis dorsata dorsata, Apis dorsata binghami, dan Apis dorsata breviligula. Dari ketiga sub spesies ini hanya dua yang terdapat di Indonesia yakni Apis dorsata dorsata yang terletak di wilayah Indonesia Bagian Barat mulai Sumatra, Kalimantan, Jawa dan sekitarnya dan Timor Timur serta Apis dorsata binghami yang hanya terdapat di Sulawesi. Jenis lebah ini membuat sarang di tempat terbuka dimana sinar matahari dapat masuk atau setidak-tidaknya masih ada celah terbuka. Satu pohon biasanya dihuni oleh puluhan sarang, kecuali sub spesies yang berada di Sulawesi (Apis dorsata binghami) dan Filipina (Apis dorsata breviligula). Di Timor Timur pernah dilaporkan ada satu pohon yang dihuni oleh 126 sarang Apis dorsata dorsata (Departemen Kehutanan, 1998).

Apis dorsata binghami tidak seperti A. mellifera maupun A. cerana atau A. nigrocincta, yang merupakan jenis lebah madu yang dapat dibudidayakan di dalam kotak-kotak pemeliharaan buatan manusia. Apis dorsata binghami umumnya ditemukan di dalam atau sekitar kawasan hutan atau di kampung-kampung yang berbatasan dengan hutan. Sarangnya menggantung pada bagian bawah cabang pohon besar dengan ketinggian ± 20 meter. Dalam satu pohon biasanya hanya dihuni oleh 1 – 2 sarang lebah, sementara untuk Apis dorsata dorsata, satu pohon bisa dihuni sampai puluhan sarang. Di Sulawesi, sarang lebah hutan umumnya ditemukan pada pohon mangga (Mangifera indica L.), sukun (Artocarpus communis Forst.), durian (Durio zibethinus Murr.), kapuk randu (Ceiba pentandra Gaertn.) dan aren (Arenga pinnata) (Soenarno dkk, 2002).

Pemanenan Madu Lebah Hutan

Di Sulawesi masih banyak ditemukan sarang lebah hutan, tetapi kegiatan pemanenannya selama ini masih bersifat tradisional yaitu melakukan pengasapan atau pembakaran untuk mengusir lebah lalu memotong habis seluruh sarang lebah tanpa menyisakan anakannya. Hal ini bisa mengakibatkan kepunahan dari lebah hutan ini karena anakan lebah yang seharusnya masih bisa berkembang, ikut juga diambil. Pengasapan juga bisa mengakibatkan ratu lebah mati atau ratu tidak dapat berkumpul dengan koloninya sehingga mengakibatkan kepunahan dari koloni tersebut. Cara panen semacam ini juga mengorbankan seluruh anakan lebah, sehingga menghambat proses regenerasi dan perkembangan populasi koloni (Setiawan, 2004). Kegiatan pemanenan biasanya dilakukan oleh masyarakat pada pagi hari (05.30 – 07.00). Hal ini disebabkan karena pada pagi hari lebah pekerja sudah mulai keluar untuk mencari makan dan belum kembali pada jam-jam tersebut sehingga lebih aman untuk melaksanakan kegiatan pemanenan, sedangkan pada jam 8.00 ke atas lebah pekerja sudah mulai pulang dari mencari makan dan biasanya lebih ganas.

Kegiatan pemanenan madu dilakukan dengan bagi hasil antara pemilik pohon inang dengan pawang lebah. Hasil perolehan madu dibagi 2 bagian yang sama. Pemanenan dilakukan dengan memanjat pohon oleh pawang lebah yang umumnya merupakan satu kelompok kecil terdiri sekurang-kurangnya dua orang. Dalam kelompok kecil tersebut terjadi pembagian tugas antara lain pemanjatan, pelayanan dibawah selama pemanjatan dan pengangkutan hasil keluar hutan. Untuk memudahkan pemanjatan pohon, pawang lebah menggunakan tangga. Peralatan yang dipergunakan dalam pemanenan berupa pisau untuk mengiris sarang, ember bertali, dan pengasap (sulo) yang terbuat dari sabut kelapa yang dibalut dengan daun kelapa basah di bagian luarnya untuk menghasilkan asap yang banyak. Agar sang pawang tidak disengat lebah, dia menggunakan celana panjang, baju tebal (jaket), topi dan masker untuk menutupi wajahnya agar tidak tersengat lebah.

Bagaimana Agar Lebah Kembali Lagi Ke Sarang?

Berdasarkan hasil wawancara dengan beberapa orang pawang lebah, mereka menyatakan bahwa terdapat beberapa cara yang dilakukan oleh pawang lebah agar lebah yang telah diasapi dan diusir tadi mau kembali lagi ke pohon inangnya dan membangun kembali sarangnya, yaitu :

1. Mengolesi batang tempat sarang lebah dengan gula merah, dengan alasan untuk mengganti madu yang telah diambil tadi karena jika madu telah diambil semua maka tidak ada lagi makanan lebah di atas pohon itu. Oleh sebab itu, dengan mengoleskan gula merah di dahannya tadi diharapkan bisa sedikit menggantikan makanan cadangan lebah.

2. Membaca doa dan melakukan ritual-ritual dengan tujuan agar lebah tidak marah dan menyengat pawang serta mau kembali lagi ke sarangnya semula. Adapun beberapa gerakan dalam ritual yang biasa dilakukan adalah sebagai berikut :

  • Pada saat membaca doa, dia menempelkan bagian bawah telapak tangannya dekat ibu jari. Ini maksudnya untuk minta ijin pada pohon dan dengan maksud agar isi yang didapat.
  • Mengelus-elus pohon selama 3 kali dengan gerakan dielus dari bawah ke atas. Dengan maksud agar lebah tidak terbang ke bawah tapi kembali ke atas, dan juga diharapkan ada peningkatan hasilnya.
  • Mendorong pantat ke atas, maksudnya agar lebah tidak dengan gampang mengeluarkan sengatnya terhadap pawang. Kenapa pantat yang dipegang, karena sumber sengatan asalnya dari arah pantat lebah.
  • Menghadap ke arah asal sarang/posisi sarang berada dan tidak boleh membelakanginya karena bisa mengakibatkan lebah marah.
  • Pada hari jum’at tidak boleh melakukan pemungutan madu, kecuali dalam keadaan terpaksa. Kalaupun harus memanen, maka setelah selesai memanen, maka dia akan melakukan ritual lagi yaitu duduk dibawah pohon sambil membaca mantera. Tujuannya yaitu agar lebah tetap kembali lagi ke tempat asalnya.

Berdasarkan cara-cara yang dilakukan oleh pawang lebah di atas, beberapa lebah memang masih ada yang mau kembali ke sarangnya semula untuk membangun sarangnya kembali, tetapi ada juga yang kembali ke pohon inangnya dan membangun lagi sarangnya tetapi tidak dibekas sarang yang telah dipanen tadi, tetapi pindah ke dahan yang lain. Selain itu, sarang yang dibangun kembali juga ukurannya biasanya jauh lebih kecil dibandingkan dengan sarang semula.

Bagaimana Panen Lebah yang Seharusnya?

Beberapa pemungut madu telah dapat menerapkan teknis pemanenan madu lebah hutan secara benar sehingga kelestarian lebahnya dapat lebih terjamin yang dikenal dengan teknik sunat (Departemen Kehutanan, 2003). Prinsip dari teknik sunat adalah hanya mengambil/mengiris bagian sarang yang berisi madu saja dan meninggalkan sebanyak-banyaknya bagian sarang yang berisi telur, larva, pupa lebah dan tepung sari. Pada bagian sarang yang berisi madu yang telah diambil, segera dibangun kembali oleh lebah hutan. Selain hal tersebut agar kelestarian lebah hutan dapat lebih terjamin maka perlu dihindari terjadinya pembakaran sarang pada saat pengasapan.

Pemanenan Lebah Madu

Penelitian mengenai teknik panen sunat ini sebetulnya sudah pernah diuji cobakan oleh Purwanti dkk (2006) di Kabupaten Polman, Sulawesi Barat. 12 koloni lebah hutan siap panen diuji coba, 4 koloni dipanen tradisional, 4 koloni dipanen sunat dengan batang bekas sarang dibersihkan, dan 4 koloni dipanen sunat dengan batang bekas sarang tidak dibersihkan. Hasilnya 2 dari 4 koloni yang dipanen tradisional masih kembali, sedangkan dengan sistem sunat baik yang dibersihkan batangnya maupun yang tidak ternyata hanya 1 saja yang kembali. Tetapi hal ini belum bisa dijadikan patokan bahwa sistem sunat tidak efektif untuk diterapkan di Sulawesi mengingat penelitian baru sekali dilakukan selain itu juga karena memang ada beberapa kesalahan yang dilakukan oleh pawang saat melakukan pemanenan seperti menggunakan pengasapan dengan api yang menyala serta terlalu banyaknya anakan yang dipotong saat panen sunat. Oleh sebab itu masih perlu dilakukan uji coba lagi dengan mengambil lokasi yang berbeda serta mengeliminir kesalahan-kesalahan yang terjadi pada saat pemanenan.

Penutup

Kegiatan pemanenan lebah hutan ini memegang peranan penting karena dari kegiatan pemanenan inilah yang akan menentukan keberlanjutan dari perkembangan jumlah koloni lebah selanjutnya. Dari teknik pemanenan ini bisa menjadi salah satu cara untuk membudidayakan lebah hutan sehingga kontinuitas dan produktifitas madu lebah hutan dapat meningkat. Oleh sebab itu perlu dilakukan teknik pemanenan lebah yang ramah lingkungan dan tidak mengancam populasi koloni. *Peneliti pada Balai Penelitian Kehutanan Makassar.

Kamis, 28 Mei 2009

Potensi Hutan Indonesia


Indonesia dikenal dunia sebagai negara yang mempunyai tingkat keanekaragaman hayati tinggi (megadiversity). Di dalam hutan dan perairan terdapat kekayaan sumber daya alam hayati, yaitu: 515 jenis mamalia (12 % dari jenis mamalia dunia); 511 jenis reptilia (7,3 % dari jenis reptilia dunia); 1531 jenis burung (17 % jenis burung dunia); 270 jenis amphibi; 2827 jenis binatang tak bertulang; dan 38.000 jenis tumbuhan.

Indonesia mempunyai areal sumberdaya hutan sebesar 120, 35 juta ha dengan rincian hutan konservasi 20,5 juta ha, hutan lindung 33,5 juta ha dan hutan produksi 66, 35 juta ha.

Hutan, bukan hanya menyimpan kayu, tetapi juga menyimpan potensi non kayu yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat melalui budidaya tanaman pangan pada lahan hutan. Kegiatan tersebut akan memberikan hasil yang menguntungkan. Baik dari segi ekonomis maupun dari segi ekologis tanpa mengubah fungsi hutannya. Budidaya tanaman pangan dapat dilakukan di bawah tegakan tanaman hutan pada kawasan hutan produksi. Dengan kata lain sumber pangan nasional tidak hanya tergantung kepada lahan pertanian saja, tetapi juga dari lahan hutan

Potensi pangan dari dalam hutan ternyata dapat dihasilkan tidak saja pada awal musim tanam tumpangsari yang dikenal selama ini, yakni dua tahun tetapi dapat selama daur karena ternyata banyak tanaman pangan yang mampu hidup di bawah naungan dengan hasil yang tinggi. Disamping itu tesedia jenis-jenis pohon dan tumbuhan hutan yang mampu menghasilkan aneka ragam pangan berupa buah, daun, tepung dan lain-lain.

Usaha-usaha peningkatan ketahanan pangan nasional telah banyak dilakukan namun masalah kekurangan pangan masih merupakan masalah utama. Ada dua aspek yang perlu mendapat perhatian kita yaitu: pertama banyaknya lahan yang tidak dimanfaatkan (iddle). Misalnya lahan hutan yang tersebar diseluruh tanah air yang sebenarnya dapat menghasilkan pangan yang bermutu dan bergizi serta biaya dasar yang rendah karena memanfaatkan lahan di bawah tegakan hutan dan tumpang sari. Aspek yang kedua adalah budaya mengkonsumsi pangan berupa gandum dan beras yang terlanjur menjadi makanan pokok disebagian kalangan penduduk.

Masalah ketersediaan air bagi keperluan keluarga dan industri, meningkatnya pencemaran udara, semakin berkurangnya produk oksigen, serta semakin banyaknya produk gas rumah kaca dan lain sebagainya merupakan ancaman bagi penduduk Indonesia yang saat ini mencapai lebih dari 200 juta jiwa. Hutan apabila ditata dengan baik akan dapat diandalkan untuk mengatasi masalah tersebut.

Hutan mampu menghasilkan persediaan pangan dan air nasional, selain itu juga dapat membantu menghindarkan kebakaran hutan, perambahan, pencurian, perusakan hutan apabila dapat memanfaatkan lahan-lahan tersebut dengan jenis tanaman pangan campuran yang sesuai. Tanaman pangan dibawah tegakan selain menambah kesuburan tanah, juga dapat berfungsi sebagai payung terhadap erosi.

Jenis Tanaman Pangan

Selama ini beras dan gandum dianggap sebagai sumber karbohidrat yang utama, sementara beberapa jenis tanaman pangan lainnya seperti ketela pohon, ganyong, jagung, umbi-umbian hanya dianggap sebagai makanan bergizi rendah.

Beberapa jenis tanaman pangan nasional yang diprioritaskan antara lain: Ketela Pohon (Manihot utilissima POHL), Arairut, garut (Maranta arundinacea LINN), Ganyong (Lembong) (Canna edulis KER), Sukun (Artocarpus communis FORST), Ubi Jalar (Ipomoea batatas POIR), Jagung (Zea mays LINN), Kacang Tanah (Arachis hypogea LINN), Kedelai (Glycine max MERR), Talas (Colocasia esculenta SCHOTT), Ubi Gembili (Dioscorea aculcata LINN), Suweg (Amorphophallus campanulatus BL), Gadung (Dioscorea hispida POIR), Huwi Sawu (Dioscorea alata LINN), Kimpul (Hanthosoma violaceum SCHOT), Kentang (Solanum tuberosum LINN), Kentang Jawa (Klici) (Soleus tuberosum BENTH), Nenas (Ananas comosus MERR), Pisang (Musa paradisiaca LINN), Melinjo (Gnetum gnemon LINN), Nangka (Artocarpus integra MERR), Cempedak ( Artocarpus champeden SPRENG), Alpukat (Persea gratisima GAERTN), Sagu (Metroxylon sp), Rambutan (Nephelium lapnaceum), Durian (Durio zibbethinus), Cantel (Sorgum) (Syricum granum).**

GETAH JELUTUNG

Jelutung merupakan jenis kayu multiguna, selain menghasilkan kayu juga menghasilkan getah. Getah dan kayu jelutung merupakan komoditi perdagangan dalam dan luar negeri/ekspor. Kayunya dapat digunakan sebagai bahan baku pensil slite dan getahnya sebagai bahan pengawet permen karet, kabel listrik dibawah tanah, kondom dan campuran bahan baku ban mobil. Pohon jelutung dapat menghasilkan getah yang dikelompokkan sebagai hasil hutan bukan kayu (HHBK) . Jelutung pada umur 8 tahun atau setelah batang berdiameter paling kecil 20 cm sudah bisa disadap (Lihat Gambar 2). Getah jelutung berwarna putih yang terdiri dari 20 % kancuk dan 80 % damar. Perkiraan produksi getah jelutung berkisar antara 0,1 kg sampai dengan 0,6 kg per batang.

Potensi kayu jelutung semakin langka, volume rata-rata 2,46 m3/ha pada tahun 1987 (Badan Intag, 1987. Menurunnya potensi volume rata-rata jelutung disebabkan antara lain tidak dilakukan usaha budidaya secara intensif, eksploitasi sumber daya hutan yang cenderung berlebihan dan kurang memperhatikan prinsip dalam menjaga kelestarian serta kesinambungan ekosistem sumber daya hutan, kebakaran hutan di musim kemarau, konversi kawasan hutan ke sawit dan karet.

Usaha Budidaya Jelutung

Masalah ekonomi dewasa ini adalah kemampuan supply kayu dari hutan alam semakin berkurang, maka orientasi penyelesaian ekonominya adalah membangun sumber supply baru dari hutan tanaman. Pembangunan hutan tanaman untuk jenis jelutung dapat dilakukan pada hutan tanaman industri atau hutan tanaman rakyat. Usaha budidaya ini belum ada penghasilan seperti getah atau kayu karena tanaman ini baru berumur 3-4 tah un (Gambar 1).

Produksi Getah Jelutung

Daerah penghasil getah jelutung di daerah Kalimantan Tengah adalah Pangkalan Bun, Palangkaraya dan Sampit. Selama empat tahun (2003 s/d 2006) daerah terbesar penghasil getah jelutung adalah Pangkalan Bun (Lihat Grafik di bawah ini). Produksi dari ketiga daerah ini dijual ke pedagang besar /eksportir di Sampit.

Tabel 6. Produksi Getah Jelutung di daerah Propinsi Kalimantan Tengah

Daerah Kab.

Tahun (Kg)

2003

2004

2005

2006

Rata2

Kab. Pangkalan Bun

423.242

493.012

421.770

564.923


Palangka Raya

428.739

454.214

180.530

67.840


Sampit

185.933

115.440

30.081

60.993


Jumlah

1.037.914

1.062.666

632.381

693.756


Sumber: Pedagang besar/Eksportir Getah Jelutung, Sampit 2007.

Ekspor Getah Jelutung

Indonesia merupakan penghasil utama getah jelutung, hampir seluruh produksi getah jelutung Indonesia di ekspor ke luar negeri seperti ke Jepang, Singapura dan Hongkong dalam bentuk bongkah. Berdasarkan data dari sebuah perusahaan eksportir getah jelutung di sampit, rata-rata per tahun mampu mengekspor162,29 ton ke Jepang. Nilai rata-rata per tonnya berkisar antara USD 4.592 – 4.966. Pada table 7 di bawah ini menunjukkan jumlah ekspor getah jelutung ke Negara Jepang.

Tabel 7. Realisasi Ekspor Getah Jelutung di Kalimantan Tengah

Tahun

Volume

(ton)

Nilai

(USD)

Nilai Rata-rata/ton (USD)

Harga rata/kg ditingkat buyer LN (USD)

Tujuan Ekspor

2000

96

476.800,00

4.966,70

0,50

Jepang

2001

128

587.840,00

4.592,50

0,50

Jepang

2002

176

792.000,00

4.500,00

0,45

Jepang

2003

192

902.400,00

4.700,00

4,70

Jepang

2004

192

902.400,00

4.700,00

4,70

Jepang

2005

176

827.200,00

4.700,00

4,70

Jepang

2006

176

827.200,00

4.700,00

4,70

Jepang

Jumlah

1136





Rata-rata

162,29





Sumber : Produsen dan Eksportir Getah Jelutung, Sampit, 2007.

Nialai Ekonomi Jelutung

  1. Getah Jelutung

Dari perkiraan produksi getah jelutung 0,1 sampai dengan -0,6 kg per batang tiap satu kali sadap. Dalam satu tahun rata-rata pebnyadapan dilakukan 40 kali, dengan asumsi harga getah Rp. 3000 per kilogram. Jumlah pohon dalam 1 hetar 200 pohon, maka nilai ekonomi getah jelutung setiap tahunnya berkisar antara Rp. 2.400.000,- sampai Rp. 13. 440.000,-.

  1. Kayu Jelutung

Riap diameter pohon jelutung adalah 1,58 cm per tahun, maka pada umur ± 25 tahun pohon jelutung sudah dapat dipanen untuk keperluan bahan baku pensil slate atau kayu lapis dengan diameter 35 cm lebih.

Jika rata-rata pohon bebas cabang mencapai 15 cm meter, maka volume tiap pohon rata-rata 2,94 m3. Dengan kerapatan pohon mencapai 200 pohon/hektar, maka volume rata-rata per hektarnya ± 588 m3. Dengan asumsi harga kayu bulat jelutung di tingkat masyarakat Rp. 200.000,- per meter kubik, maka dapat diperoleh nilai ekonomi dari jenis kayu jelutung Rp. 117.600.000,-

Keuntungan Usaha Budidaya Jelutung

Usaha budidaya jelutung selain dapat dilakukan dalam kawasan hutan tanaman industri/HTI juga dapat dilaksanakan di hutan rakyat. Dalam analisis usaha budidaya jelutung pada hutan rakyat, luas tanah yang dipergunakan 1 hektar. Biaya tanah dihitung dalam bentuk nilai sewa tanah.

Pendapatan

Jelutung pada umur 8 tahun dapat disadap. Hasil sadapan rata-rata per pohon pada umur 8 tahun s/d 12 tahun 3 kilogram per bulan per pohon. Pada umur 13 tahun s/d 30 tahun menghasilkan getah 5 kilogram per pohon per bulan. Selanjutnya produksi getah akan menurun, seiring dengan penambahan umur pohon. Pada umur 35 tahun setelah berdiameter 40 cm, tinggi pohon 15 meter, jelutung sebaiknya ditebang untuk diremajakan kembali. Setiap batang akan menghasilkan kayu 1,88 m3. Usaha budidaya jelutung selain dapat dilakukan dalam kawasan hutan tanaman industri/HTI juga dapat dilaksanakan di hutan rakyat.*Sumber:MKI-2008.

Rabu, 27 Mei 2009

PERTEMUAN NEGARA-NEGARA PEMILIK HUTAN TROPIS (F-11) DI DENPASAR, BALI

Kelompok Negara-negara yang tergabung dalam F-11 (Forest Eleven) melaksanakan pertemuan Technical Expert di Denpasar, Bali pada tanggal 26 – 27 Mei 2009. Pertemuan F-11 dihadiri oleh ± 25 peserta dari 11 negara pemilik hutan tropis yaitu : Brazil, Costa Rica, Gabon, Kongo, Kamerun, Kolombia, Malaysia, Papua New Guinea, Peru, Republik Demokratik Kongo, dan Indonesia. (Kesebelas Negara merupakan pemilik separuh Hutan Tropis Dunia). Pertemuan membahas mengenai organizational matters F-11 yang meliputi bentuk sekretariat, rotasi kepemimpinan, dan pertemuan lanjutan F-11. Selain itu akan dibahas pula program of work F-11 jangka pendek, menengah dan panjang serta proyek konkret yang akan diluncurkan pada pertemuan tingkat menteri.

Indonesia diharapkan dapat mempersiapkan bentuk proyek konkrit yang menjadi prioritas Indonesia untuk dapat dibahas dalam pertemuan Technical Expert Group F-11 dan akan diluncurkan pada pertemuan tingkat Menteri F-11.

Kelompok sebelas Negara pemilik hutan tropis tersebut lebih dikenal sebagai kelompok Forest Eleven (F-11) dibentuk atas inisiatif Presiden RI ketika mengadakan pertemuan tingkat Kepala Negara pemilik hutan tropis utama pada tanggal 24 September 2007 di sela-sela Sidang Majelis Umum PBB dan High-Level Event on Climate Change di New York.
Pertemuan yang selanjutnya disebut Special Leaders Meeting of Tropical Rainforest Countries (TRC) dipimpin oleh Presiden RI dan diikuti oleh Presiden Gabon, PM Papua New Guinea, Wapres Colombia, Wakil PM Republic of Congo, serta menteri-menteri dari Brazil, Cameroon, Democratic Republic of Congo, Costa Rica, Malaysia dan Peru (kesebelas negara merupakan pemilik separuh dari hutan tropis dunia). Hal penting yang merupakan hasil pertemuan Special Leaders Meeting of Tropical Rainforest Countries (TRC) wak

tu itu antara lain penanganan isu REDD dalam konteks UNFCCC, mekanisme insentif market dan non market, mengingat pasar global saat ini tidak memberikan insentif positif bagi negara-negara pemilik hutan tropis.(sumber:Pusinfo-2009)

Tahura Ir. H.Juanda-Jawa Barat

Benteng Terakhir Kawasan Konservasi Di Bandung
Bandung, kota yang banyak menawarkan beragam tujuan wisata,, tidak hanya wisata belanja atau wisata kuliner yang sekarang menjamur. Bandung juga menawarkan wisata alam yang menarik untuk dijelajahi. Salah satunya adalah Tahura Djuanda, sebuah kawasan konservasi yang juga merupakan kawasan wisata alam yang tidak boleh dilewatkan bila berkunjung ke kota yang pernah dijuluki kota kembang ini.
Hawa sejuk segera terasa begitu menginjakkan kaki di Taman Hutan Raya Ir. H. Djuanda yang terletak di Utara kota Bandung. Kawasan konservasi ini mudah dijangkau karena terletak tidak jauh dari Ibukota Jawa Barat. Hanya dengan waktu tempuh sekitar 20 menit dari Gedung Sate, yang merupakan ”landmark” sekaligus kantor pusat pemerintahan Provinsi Jawa Barat, kita bisa memperoleh kesegaran alam yang sulit didapatkan di perkotaan. Kesejukan dan kesegaran yang ada tidak terlepas dari kondisi tahura yang relatif lebih baik jika dibandingkan dengan beberapa tahura yang ada. Sehingga tidak heran tempat ini sering dijadikan tempat rekreasi dan berolahraga bagi warga sekitar Kota Bandung.

Tahura ini memiliki aksesibilitas cukup tinggi. Semua jenis kendaraan bisa mencapai pintu gerbang utama dengan mudah, karena jalan sudah beraspal dengan kondisi baik. Selain melalui pintu utama di Pakar Dago, ada beberapa pintu masuk yang dapat ditempuh, yaitu melalui Kolam Pakar PLTA Bengkok dan melalui pintu masuk Maribaya di Lembang.

Tahura ini merupakan tahura pertama di Indonesia dan menjadi benteng terakhir satu-satunya kawasan konservasi terdekat di kota Bandung. Kawasan ini mempunyai fungsi penyediaan air bersih, udara bersih dan paru-paru kota yang harus dilestarikan. Jika tidak dilestarikan, akan mengancam keberadaan kota yang dijuluki Paris Van Java ini.

Berbagai obyek daya tarik wisata yang dapat dikunjungi di Tahura Djuanda antara lain berupa Plaza Monumen Ir. H. Djuanda dilengkapi dengan museum yang dibangun untuk menghormati perjuangan Ir. H. Djuanda, tokoh pahlawan nasional yang berasal dari Jawa Barat. Tahura ini juga menyediakan taman bermain untuk anak-anak dengan berbagai fasilitas permainan di antara pepohonan hutan. Selain itu pengelola juga membangun panggung terbuka untuk menampung kegiatan masyarakat dalam bentuk kegiatan pertunjukan dan atraksi dengan kapasitas 200 orang.

Obyek daya tarik lainnya adalah Curug Dago, berupa air terjun setinggi 15 meter pada aliran sungai Cikapundung dengan pamandangan alam dan ekosistem hutan yang sejuk dan dapat dijadikan tempat istirahat di bawah pepohonan. Air terjun lainnya yang menambah keindahan kawasan ini yaitu Curug Omas. Air terjun yang mempunyai ketinggian 30 meter ini terletak berdekatan dengan obyek wisata air panas Maribaya. Masih di aliran Sungai Cikapundung, di antara kedua curug tersebut terdapat Curug Lalay. Obyek ini berupa goa dengan bebatuan yang terjal yang ditempati burung dan kelelawar yang di tengahnya mengalir Sungai Cikapundung. Sedangkan bagi pengunjung yang menyukai tracking, pengelola menyediakan jogging track berupa jalan setapak menyusuri tepi sungai yang berhutan antara Pakar – Maribaya sejauh 5 km. Melalui track berbukit dengan paving blok ini kita dapat menikmati panorama Tahura dan pemandangan kota Bandung.

Di samping obyek alam tersebut, tempat ini juga menyimpan peninggalan sejarah masa lalu berupa Prasasti Thailand peninggalan Raja Thailand Chulalongkorn II yang pernah mengunjungi lokasi tersebut Tahun 1896. Prasasti ini terawat dengan baik karena pemeliharaannya mendapat bantuan dari Pemerintah Thailand.

Sampai di sini, pengunjung belum lengkap jika belum mengunjungi Goa Belanda. Yaitu goa peninggalan Belanda yang dibangun tahun 1941 oleh Belanda untuk terowongan PLTA Bengkok. Kemudian pada saat perang goa ini dijadikan sebagai pusat stasiun radio telekomunikasi militer Hindia Belanda. Goa lainnya yang terdapat dikawasan ini adalah Goa Jepang yang dibangun tentara Jepang tahun 1942 untuk kepentingan pertahanan, setelah sebelumnya Hindia Belanda menyerah kepada Tentara Jepang. Pembangunan goa ini dilakukan oleh tanaga kerja pribumi dengan cara kerja paksa yang dikenal dengan romusha.

Tahura Ir. H. Djuanda merupakan taman hutan raya pertama di Indonesia yang diresmikan 14 Januari 1985 oleh Presiden Soeharto bertepatan dengan tanggal kelahiran Ir. H. Djuanda. Awalnya dikenal sebagai kawasan Hutan Lindung Gunung Pulosari dan Taman wisata Alam Curug Dago. Kawasan hutan lindung ini dirintis pembangunannya sejak tahun 1960 oleh Gubernur Jawa Barat ketika itu, Mashudi, ADM Bandung Utara Sambas Wirakusumah dengan dukungan Ismail Saleh (Menteri Kehakiman) dan Soedjarwo (Menhut)

Pengelolaan Tahura Djuanda sejak tahun 2003 diserahkan kepada Pemprov Jabar c.q. Dinas Kehutanan Jabar melalui UPTD Balai Pengelolaan Taman Hutan Raya berdasarkan SK Menhut No. 107/kpts-II/2003 tanggal 24 Maret 2003. Luas Tahura Djuanda berdasarkan rekonstruksi tata batas tahura tahun 2003 adalah 527,03 Hektar.

Apresiasi masyarakat terhadap keberadaan Tahura Djuanda terus meningkat. Hal ini diindikasikan dengan tingkat kunjungan wisatawan baik domestik maupun mancanegara dari tahun ke tahun yang terus meningkat. Data yang diperoleh memperlihatkan tahun 2003 jumlah pengunjung sebanyak 18.020 orang dan tahun 2005 meningkat menjadi 66.388 orang, sedangkan data tahun 2007 menunjukkan angka 94.723 orang. Sementara itu target pemasukan dana dari kunjungan tahun 2008 sebesar Rp 300 juta.
Tidak sedikit masyarakat Bandung yang berada pada level menengah ke atas memanfaatkan tempat ini sebagai tempat berolahraga. Kegiatan ini sudah menjadi lifestyle sebagian masyarakat Bandung yang sejak pagi hari melakukan aktivitas kebugaran jasmani di Tahura yang dikalangan masyarakat Bandung masih dikenal dengan sebutan Dago Pakar. Memanfaatkan semua fasilitas yang ada tidak memerlukan biaya mahal. Hanya dengan merogoh kocek Rp 3000 per orang masyarakat mendapatkan fasilitas yang nilainya jauh lebih tinggi dari yang mereka bayar. Masyarakat sudah membutuhkan dan menyadari fungsi kawasan konservasi yang diresmikan tahun 1985 ini. Kondisi ini merupakan harapan yang baik dan memberikan semangat tersendiri bagi pengelolan Tahura Djuanda.
Meski pengelolaan Tahura Djuanda sudah dianggap baik, namun tidak terlepas dari berbagai kendala dan tantangan. Tantangan utama pengelolaan Tahura Djuanda adalah lokasi kawasan yang berbatasan langsung dengan penduduk. Untuk itu dalam mengamankan kawasan tahura, pengelola melakukan koordinasi dengan pihak Kecamatan, Aparat Desa, Kepolisian sektor setempat, Koramil, LSM dan komponen masyarakat lainnya.(rd-ud)
0 komentar Link ke posting ini

Panen Gaharu di Sukabumi

Oleh: Undang Darmatin

Pada pertemuan di Argentina bulan Maret yang lalu CITES berencana melarang perdagangan gaharu Indonesia, padahal Pusat Penelitian Hutan dan Konservasi Alam telah menghasilkan teknologi yang memungkinkan untuk memproduksi gaharu dari tanaman budidaya secara cepat dengan tingkat keberhasilan yang tinggi. Pada 04 April 2009 lalu penulis berkesempatan menyaksikan panen Gaharu hasil penelitian di daerah Sagaranten Sukabumi, Jawa Barat. Hasil panen menunjukkan bahwa tanaman gaharu yang diinokulasi 2 tahun yang lalu mampu menghasilkan gaharu yang berwarna tua, Warna coklat tua ini merupakan indikasi kualitas yang lebih baik. Pohon-pohon yang diinokulasi ini merupakan hasil tanaman tahun 2000 dengan jenis Aquilaria cressna dan Aquilaria malaccencis dan diinokulasi pada umur 6 tahun.

Menurut Dr. Erdy Santoso ahli peneliti gaharu dari Pusat Litbang Hutan & Konservasi Alam, rentang waktu inokulasi berkorelasi dengan kualitas gaharu yang dihasilkan. Tanaman penghasil gaharu yang tidak menghasilkan gaharu kayunya berwarna putih, setetah diinokulasi selama 3 bulan mulai menunjukkan proses terbentuknya gaharu yang diindikasikan berubahnya warna menjadi kecoklatan. Ada kecenderungan semakin lama rentang inokulasi maka warnanya akan semakin gelap dan mengindikasikan kualitas yang meningkat pula.

Produksi GAHARU dapat dipenuhi dari Hutan Tanaman


Di lokasi ini telah diujicobakan empat jenis isolat pembentuk gaharu yaitu isolat JERMIA 1-4 yang diperoleh dari berbagai daerah di Indonesia, hasil inokulasi di Sukabumi mengindikasikan bahwa Jermia 2 dan Jermia 4 memberikan respon yang lebih produktif. Hasil Inokulasi di Bangka laku di pasaran Timur Tengah seharga 800 -1000 real per kilogram atau sekitar 2,5 juta rupiah per kilogram. Pada umumnya inokulasi selama satu tahun menghasilkan produk gaharu minimal dua kilogram per pohon.
Menurut Kepala Pusat Litbang Hutan dan Konservasi Alam, Adi Susmianto bahwa pada pertemuan Komisi Tumbuhan CITES tanggal 17 s/d 22 Maret 2009 di Argentina ada upaya-upaya beberapa pihak untuk memberi sanksi kepada Indonesia berupa larangan memperdagangkan gaharu. Berdasarkan pengalaman Puslitbang Hutan & Konservasi Alam dalam membudidayakan tanaman gaharu tidak sulit. Dalam lima tahun terakhir di Carita (Jawa Barat) telah dibudidayakan gaharu seluas 42 hektar, di Cikampek (Jawa Barat) seluas 2 hektar, dan di Riau seluas 12 hektar, Selain itu di beberapa binaan Puslitbang Hutan dan Konservasi Alam dl Kalimantan Barat telah ditanam sebanyak 143.000 pohon. Di Kalsel sebanyak 20.000 pohon, di Jambi sebanyak 60.000 pohon, serta di Kaltim sebanyak 200.000 pohon.
Saat ini teknik inokulasi pembentukan gaharu telah dikuasai Puslitbang Hutan & Konservasi Alam. Selain itu, Puslitbang Hutan & Konservasi Alam telah mengoleksi 23 isolat yang berasal dari 17 Propinsi di Indonesia.

Dengan demikian larangan memperdagangkan gaharu pada pertemuan CITES di Argentina pada Bulan Maret yang lalu tidak beralasan, karena ke depan gaharu Indonesia yang dipasarkan tentunya berasal dari hasil budidaya, bukan berasal dari hutan alam.*